Minggu, 20 April 2014

PENDIDIKAN MASA LALU DAN SEKARANG

PENDIDIKAN MASA LALU DAN SEKARANG OLEH RAPIUDDIN BAB I PENDAHULUAN Kutipan yang terkenal dari Francis Bacon tersebut jelas mengungkapkan pentingnya pendidikan bagi manusia. Sumber pokok kekuatan manusia adalah pengetahuan. Mengapa? Karena manusia dengan pengetahuannya mampu melakukan olah-cipta sehingga ia mampu bertahan dalam masa yang terus maju dan berkembang. Dan proses olah-cipta tersebut terlaksana berkat adanya sebuah aktivitas yang dinamakan PENDIDIKAN. Pendidikan menurut KBBI berarti sebuah kegiatan perbaikan tata-laku dan pendewasaan manusia melalui pengetahuan. Bila kita lihat jauh ke belakang, pendidikan yang kita kenal sekarang ini sebenarnya merupakan ”adopsi” dari berbagai model pendidikan di masa lalu. Informasi mengenai bagaimana model pendidikan di masa prasejarah masih belum dapat terekonstruksi dengan sempurna. Namun bisa diasumsikan ”media pembelajaran” yang ada pada masa itu berkaitan dengan konteks sosial yang sederhana. Terutama berkaitan dengan adaptasi terhadap lingkungan di kelompok sosialnya Apa yang terbayang bila berhubungan dengan pendidikan? Pendidikan telah menyerap energi berbagai pihak yang berkepentingan. Lapisan masyarakat ikut memikirkannya. Dalam arti sempit orang tua selalu melibatkan diri dalam bidang pendidikan. Perhatikan bagaimana sibuknya orang tua dalam waktu-waktu tertentu sesuai dengan kalender pendidikan. Pada awal tahun pelajaran/akademik orang tua sibuk menyiapkan segalanya untuk kepentingan anak-anaknya. Menjelang ujian akhir nasional orang tua memacu, memperhatikan, bahkan ikut mengatur jadwal belajar anaknya di rumah. Apa pun yang dibutuhkan anaknya untuk pendidikan, orang tua akan selalu berusaha menyediakannya. Pendidikan adalah harapan masuk ke wilayah komunitas yang diharapkan. Pendidikan adalah awal penyiapan masuk ke lapangan pergaulan luas, termasuk harapan orang tua agar anaknya dapat mempertahankan hidup di tengah masyarakat luas. Jadi, suatu kemestian bahwa pendidikan itu berimajinasi seolah kehidupan masa depan itu disepertikan. Penyepertian dunia masa depan itu tergambar jelas dalam kurikulum. Butir-butir kurikulum itu harapan yang tersusun berdasarkan riset yang tertanggungjawabkan secara ilmiah. Perbantahan mungkin terjadi, tetapi kesalahan metode tidak terjadi. Masyarakat menyimpan harapan besar terhadap pendidikan. Pintu masuk ke dunia yang luas tanpa batas (global), menurut masyarakat adalah sekolah dan lebih khusus lagi kelas. Penggodokan berbagai hal yang akan terjadi berlangsung di kelas secara rutin, beraturan, bersistem, berjadwal. Perangkat kelas berkolaborasi bersatu mewujudkan penanaman kompetensi yang diharapkan tertampakkan pada saat murid berperilaku di luar kelas. Jadi, di kelas sebenarnya penuh dengan ”keakanan”. Keterjadian di kelas mempertimbangkan perkiraan yang akan terjadi pada masa depan sejauh mungkin, misalnya tahun 2025. Penjangakauan ini menjadi pertanda adanya kemauan keras dari sekolah atau penyelenggara pendidikan dalam hal penjanjian terbentuknya lulusan yang siap bersaing di pasar global. Sekolah adalah masa depan yang selalu dibayangkan masyarakat akan dapat menyelesaikan permasalahan. Apakah sekolah mampu menampung harapan itu? Apakah pemerintah pusat dan atau daerah mampu menjabarkan harapan masyarakat itu dalam berbagai regulasi? BAB II PEMBAHAHASAN 2.1 Pendidikan Masa Lalu Pendidikan berkembang melalui bermacam proses yang terjadi pada masyarakat sesuai dengan sejarah berbagai negara di dunia barat. Pada awalnya, lembaga yang memiliki tanggung jawab sebagai penyalur sosialisasi adalah gereja dan keluarga. Lalu, lembaga pendidikan menggantikan lembaga keluarga dan gereja sebagai penyalur sosialisasi kepada anak-anak. Pendidikan di beberapa negara Eropa pada jaman pertengahan ditentukan oleh otoritas mutlak melalui lisensi dari paus atau kaisar untuk mengajarkan misteri dari hukum pengobatan dan teologi di universitas beraliran kristen (Vaizey, 1974:59). Pendidikan ber hubungan dengan kepercayaan bahwa seseorang akan mencapai kebenaran dengan membaca kitab injil. Jadi, pendidikan terkesan dipaksakan dan tidak boleh dijalankan tanpa petunjuk dari gereja dan sebagai perpanjangan tangan untuk mengontrol masyarakat. Sebelum pertengahan abad 19, lembaga pendidikan dapat dimasuki berdasarkan pada kelas sosial. Sekolah umum merupakan sekolah privat dengan biaya yang mahal (Miflen dan Mifflen, 1986: 12). Anak-anak dari keluarga menengah ke bawah sulit untuk sekolah, karena masalah ketidakmampuan memenuhi biaya pendidikan. Pendidikan dapat dikembangkan berdasarkan adanya tuntutan penyediaan tenaga kerja untuk berbagai kebutuhan negara. Pemerintah Inggris membuat aturan tentang pendidikan untuk anak-anak dari keluarga miskin pada tahun 1833, yaitu ketika factory act (peraturan kepabrikan) seolah-olah memberikan larangan mengenai tenaga kerja anak (buruh anak). Peraturan tersebut sulit dijalankan, karena tuntutan kebutuhan tenaga kerja murah. Vaizey (1974:18) menyatakan bahwa pendidikan akan dianggap sukses apabila rakyat berhasil dilatih untuk menjalankan sebuah pabrik, membangun tentara, atau mengembangkan suatu sistem pertanian. Pendidikan yang diajarkan dengan cara berbeda antara kaum borjuis dan kaum pekerja. Anak-anak kaum borjuis dididik untuk menjadi pemimpin dan juga diberikan pendidikan berdasarkan buku, sedangkan anak-anak kaum pekerja dilatih untuik bekerja di dalam industri produksi (Vaizey, 1974:36). Pendidikan dapat dimasuki berdasarkan pengkotakan yang diatur sesuai dengan penempatan kelas sosial. Ketidak adilan pendidikan semakin berkembang seiring kemajuan teknologi. Kemajuan teknologi di Jerman dan di Amerika Serikat membuat Inggris menempati posisi yang imperior. Negara Jerman dan Amerika Serikat mempunyai sistem pendidikan yang lebih maju dibandingkan Inggris (Mifflen dan Mifflen, 1986:13). Inggris mencoba ikut bersaing dengan mengembangkan jurusan teknik dan ketrampilan disebabkan ingin menyamai kedudukan perdagangan Negara Jerman dan Amerika. Pendidikan di ketiga negera tersebut diperluas dengan cepat untuk memberikan keterampilan praktis yang akan digunakan untuk para pekerja di berbagai bidang pekerjaan. Pada perkembangannya, Siswa pada lembaga-lembaga pendidikan menjadi semakin berkurang. Blyth (1972) melaporkan sampai pertengahan tahun duapuluhan, hanya 12% dari mereka yang menikmati sekolah-sekolah dasar dan empat dari seribu orang siswa yang melanjutkan pendidikan ke tingkat selanjutnya (dikutif oleh Mifflen dan Mifflen, 1986:14). Kenyataan tersebut terjadi tidak lepas karena anak-anak tidak mampu dibentuk menjadi buruh. Pendidikan bagi anak-anak kaum buruh dibentuk dengan status dan cara hidup tingkat buruh. Pendidikan dikembangkan demi mendapatkan tenaga kerja murah. Pendidikan tidak adil bagi anak-anak miskin tidak hanya terjadi di Inggris, Amerika dan Jerman. Ketidakadilan pada lembaga pendidikan juga terjadi di Kanada, terjadi diskriminasi terhadap pribumi, anak-anak kaum buruh, orang kulit hitam, dan para imigran. Katz (1973, dikutip oleh Mifflen dan Mifflen, 1986:56) mencatat bahwa diperkenalkannya sekolah yang bebas dan wajib di Kanada bukan suatu reformasi yang ditujukan untuk keuntungan pekerja golongan miskin. Kaum buruh juga terkendala oleh biaya pendidikan yang tidak murah. Kaum buruh mengalami kesulitan untuk memasuki lembaga pendidikan, karena tidak sanggup untuk membayar biaya sekolah. Jadi, pendidikan di beberapa negara barat merupakan wujud dari permintaan akan tenaga kerja yang murah. Kebutuhan yang mendesak dan persaingan kemajuan teknologi semakin membuat orang-orang tidak mampu atau kaum buruh semakin tersingkir dari lembaga pendidikan. Anak-anak kurang mampu dibentuk menjadi tenaga terampil, mereka kesulitan menikmati pendidikan dan tidak bisa keluar dari pengkotakan, kaum buruh menempati kelas bawah dan kaum borjuis menempati tingkat atas sebagai golongan yang mampu memasuki lembaga pendidikan. Ketidakaadilan akan pendidikan juga dibawa oleh beberapa negara Eropa ke negara jajahannya. Pada sektor ekonomi modern dan kaya, yang terpusat dikota-kota besar negera sedang berkembang. Pendidikan ditentukan oleh suatu struktur yang mempunyai persamaan besar dengan model pendidikan dari Negara penjajah (Vaizey, 1974: 62), contohnya Negara India dan Pakistan ditemukan sekolah dasar siang yang besar seperti model sekolah di Inggris untuk anak-anak dari pegawai negeri dan masyarakat pengusaha, dan sekolah berasrama khusus untuk anak-anak kaum bangsawan. Belanda juga mengembangkan model pendidikan berdasarkan kepentingan sebagai negara penjajah di Indonesia. Sejarah Pendidikan di Indonesia Sejarah pendidikan yang akan diulas adalah sejak kekuasaan Belanda yang menggantikan Portugis di Indonesia. Brugmans menyatakan pendidikan ditentukan oleh pertimbangan ekonomi dan politik Belanda di Indonesia (Nasution, 1987:3). Pendidikan dibuat berjenjang, tidak berlaku untuk semua kalangan, dan berdasarkan tingkat kelas. Pendidikan lebih diutamakan untuk anak-anak Belanda, sedangkan untuk anak-anak Indonesia dibuat dengan kualitas yang lebih rendah. Pendidikan bagi pribumi berfungsi untuk menyediakan tenaga kerja murah yang sangat dibutuhkan oleh penguasa. Sarana pendidikan dibuat dengan biaya yang rendah dengan pertimbangan kas yang terus habis karena berbagai masalah peperangan. Kesulitan keuangan dari Belanda akibat Perang Dipenogoro pada tahun 1825 sampai 1830 (Mestoko dkk,1985:11, Mubyarto,1987:26) serta perang Belanda dan Belgia (1830-1839) mengeluarkan biaya yang mahal dan menelan banyak korban. Belanda membuat siasat agar pengeluaran untuk peperangan dapat ditutupi dari negara jajahan. Kerja paksa dianggap cara yang paling ampuh untuk memperoleh keuntungan yang maksimal yang dikenal dengan cultuurstelsel atau tanam paksa (Nasution, 1987:11). Kerja paksa dapat dijalankan sebagai cara yang praktis untuk meraup keuntungan sebesar-besarnya. Rakyat miskin selalu menjadi bagian yang dirugikan karena digunakan sebagai tenaga kerja murah. Rakyat miskin yang sebagian bekerja sebagai petani juga dimanfaatkan untuk menambah kas negara penguasa. Kehidupan petani yang selalu ditekan bukan masalah yang baru. Petani menduduki posisi sosial yang selalu dimanfaatkan, lahan pertanian merupakan tempat untuk menggantungkan pendapatan dan hidup petani, terutama petani gurem. Petani menjadi sapi perahan yang harus membayar pungutan resmi untuk membantu jalannya pemerintahan dan penyuplai kebutuhan pejabat daerah (Mubyarto, 1987:24). Praktek tanam paksa sekitar tahun 1830-1870 (di Yogyakarta, Solo, dan Priangan sampai 1918) merupakan kesengsaraan yang tiada taranya dan memiliki kesan yang paling hitam bagi petani dari masa penjajahan Belanda. Untuk melancarkan misi pendidikan demi pemenuhan tenaga kerja murah, pemerintah mengusahakan agar bahasa Belanda bisa diujarkan oleh masyarakat untuk mempermudah komunikasi antara pribumi dan Belanda. Lalu, bahasa Belanda menjadi syarat Klein Ambtenaarsexamen atau ujian pegawai rendah pemerintah pada tahun 1864. (Nasution, 1987:7). Syarat tersebut harus dipenuhi para calon pegawai yang akan digaji murah. Pegawai sedapat mungkin dipilih dari anak-anak kaum ningrat yang telah mempunyai kekuasaan tradisional dan berpendidikan untuk menjamin keberhasilan perusahaan (Nasution, 1987:12). Jadi, anak dari kaum ningrat dianggap dapat membantu menjamin hasil tanam paksa lebih efektif, karena masyarakat biasa mengukuti perintah para ningrat. Suatu keadaan yang sangat ironis, kehidupan terdiri dari lapisan-lapisan sosial yaitu golongan yang dipertuan (orang Belanda) dan golongan pribumi sendiri terdapat golongan bangsawan dan orang kebanyakan. Pemerintah Belanda lambat laun seolah-olah bertanggung jawab atas pendidikan anak Indonesia melalui politik etis. Politik etis dijalankan berdasarkan faktor ekonomi di dalam maupun di luar Indonesia, seperti kebangkitan Asia, timbulnya Jepang sebagai Negara modern yang mampu menaklukkan Rusia, dan perang dunia pertama (Nasution, 1987:17). Politik etis terutama sebagai alat perusahaan raksasa yang bermotif ekonomis agar upah kerja serendah mungkin untuk mencapai keuntungan yang maksimal. Irigasi, transmigrasi, dan pendidikan yang dicanagkan sebagai kedok untuk siasat meraup keuntungan. Irigasi dibuat agar panen padi tidak terancam gagal dan memperoleh hasil yang lebih memuaskan. Transmigrasi berfungsi untuk penyebaran tenaga kerja, salah satunya untuk pekerja perkebunan. Politik etis menjadi program yang merugikan rakyat. Pendidikan dasar berkembang sampai tahun 1930 dan terhambat karena krisis dunia, tidak terkecuali menerpa Hindia Belanda yang disebut mangalami malaise (Mestoko dkk, 1985 :123). Masa krisis ekonomi merintangi perkembangan lembaga pendidikan. Lalu, lembaga pendidikan dibuat dengan biaya yang lebih murah. Kebijakan yang dibuat termasuk penyediaan tenaga pengajar yang terdiri dari tenaga guru untuk sekolah dasar yang tidak mempunyai latar belakang pendidikan guru (Mestoko, 1985:158), bahkan lulusan sekolah kelas dua dianggap layak menjadi guru. Masalah lain yang paling mendasar adalah penduduk sulit mendapatkan uang sehingga pendidikan bagi orang kurang mampu merupakan beban yang berat. Jadi, pendidikan semakin sulit dijangkau oleh orang kebanyakan. Pendidikan dibuat untuk alat penguasa, orang kebanyakan menjadi target yang empuk diberi pengetahuan untuk dijadikan tenaga kerja yang murah. Pendidikan dibuat oleh Belanda memiliki ciri-ciri tertentu. Pertama, gradualisme yang luar biasa untuk penyediaan pendidikan bagi anak-anak Indonesia. Belanda membiarkan penduduk Indonesia dalam keadaan yang hampir sama sewaktu mereka menginjakkan kaki, pendidikan tidak begitu diperhatikan. Kedua, dualisme diartikan berlaku dua sistem pemerintahan, pengadilan dari hukum tersendiri bagi golongan penduduk. Pendidikan dibuat terpisah, pendidikan anak Indonesia berada pada tingkat bawah. Ketiga, kontrol yang sangat kuat. Pemerintah Belanda berada dibawah kontrol Gubernur Jenderal yang menjalankan pemerintahan atas nama raja Belanda. Pendidikan dikontrol secara sentral, guru dan orang tua tidak mempunyai pengeruh langsung politik pendidikan. Keempat, Pendidikan beguna untuk merekrut pegawai. Pendidikan bertujuan untuk mendidik anak-anak menjadi pegawai perkebunan sebagai tenaga kerja yang murah. Kelima, prinsip konkordasi yang menjaga agar sekolah di Hindia Belanda mempunyai kurikulum dan standar yang sama dengan sekolah di negeri Belanda, anak Indonesia tidak berhak sekolah di pendidikan Belanda. Keenam, tidak adanya organisasi yang sistematis. Pendidikan dengan ciri-cri tersebut diatas hanya merugikan anak-anak kurang mampu. Pemerintah Belanda lebih mementingkan keuntungan ekonomi daripada perkembangan pengetahuan anak-anak Indonesia. Pemerintah Belanda juga membuat sekolah desa. Sekolah desa sebagai siasat untuk mengeluarkan biaya yang murah. Sekolah desa diciptakan pada tahun 1907. Tipe sekolah desa yang dianggap paling cocok oleh Gubernur Jendral Van Heutz sebagai sekolah murah dan tidak mengasingkan dari kehidupan agraris (Nasution, 1987:78). Kalau lembaga pendidikan disamakan dengan sekolah kelas dua, pemerintah takut penduduk tidak bekerja lagi di sawah. Penduduk diupayakan tetap menjadi tenaga kerja demi pengamankan hasil panen. Sekolah desa dibuat dengan biaya serendah mungkin. Pesantren diubah menjadi madrasah yang memiliki kurikulum bersifat umum. Pesatren dibumbui dengan pengetahuan umum. Cara tersebut dianggap efektif, sehingga pemerintah tidak usah membangun sekolah dan mengeluarkan biaya (Nasution, 1987:80). Guru sekolah diambil dari lulusan sekolah kelas dua, dianggap sanggup menjadi guru sekolah desa. Guru yang lebih baik akan digaji lebih mahal dan tidak bersedia untuk mengajar di lingkungan desa. Masa penjajahan Belanda berkaitan dengan pendidikan merupakan catatan sejarah yang kelam. Penjajah membuat pendidikan sebagai alat untuk meraup keuntungan melalui tenaga kerja murah. Sekolah juga dibuat dengan biaya yang murah, agar tidak membebani kas pemerintah. Politik etis menjadi tidak etis dalam pelaksanaannya, kepentingan biaya perang yang sangat mendesak dan berbagai masalah lain menjadi kenyataan yang tercatat dalam sejarah pendidikan masa Belanda. Belanda digantikan oleh kekuasaan Jepang. Jepang membawa ide kebangkitan Asia yang tidak kalah liciknya dari Belanda. Pendidikan semakin menyedihkan dan dibuat untuk menyediakan tenaga cuma-cuma (romusha) dan kebutuhan prajurit demi kepentingan perang Jepang (Mestoko, 1985 dkk:138). Sistem penggolongan dihapuskan oleh Jepang. Rakyat menjadi alat kekuasaan Jepang untuk kepentingan perang. Pendidikan pada masa kekuasaan Jepang memiliki landasan idiil hakko Iciu yang mengajak bangsa Indonesia berkerjasama untuk mencapai kemakmuran bersama Asia raya. Pelajar harus mengikuti latihan fisik, latihan kemiliteran, dan indoktrinasi yang ketat. Kebangkitan Asia menjadi slogan omong kosong pada kenyataannya. Mubyarto (1987:36) menjelaskan pertanian Indonesia diusahakan dapat mendukung usaha peperangan. Bibit baru dari Taiwan memang berumur lebih pendek dengan hasil per hektar lebih tinggi dipaksakan untuk ditanam dengan sistem larikan (dalam garis lurus) dan dengan menggunakan pupuk hijau dan kompos. Petani menjadi membenci sistem baru tersebut. jaman Jepang sebagai jaman penyiksaan yang kejam. Jadi, petani dibuat sebagai sumber pendapatan yang terus dipaksa untuk manambah hasil panen. Penduduk sebagai alat komoditas yang terus diperas. Sejarah Belanda sampai Jepang dipahami sebagai alur penjelasan kalau pendidikan digunakan sebagai alat komoditas oleh penguasa. Pendidikan dibuat dan diajarkan untuk melatih orang-orang menjadi tenaga kerja yang murah. Runtutan penjajahan Belanda dan Jepang menjadikan pendidikan sebagai senjata ampuh untuk menempatkan penduduk sebagai pendukung biaya untuk perang melalui berbagai sumber pendapatan pihak penjajah. Pendidikan pula yang akan dikembangkan untuk membangun negara Indonesia setelah merdeka. Setelah kemerdekaan, perubahan bersifat sangat mendasar yaitu menyangkut penyesuaian bidang pendidikan. Badan pekerja KNIP mengusulkan kepada kementrian pendidikan, pengajaran, dan kebudayaan supaya cepat untuk menyediakan dan mengusahakan pembaharuan pendidikan dan pengajaran sesuai dengan rencana pokok usaha pendidikan (Mestoko, 1985:145). Lalu, pemerintah mengadakan program pemberantasan buta huruf. Program buta huruf tidak mudah dilaksanakan dengan berbagai keterbatasan sumber daya, kendala gedung sekolah dan guru. Kementrian PP dan K juga mengadakan usaha menambah guru melalui kursus selama dua tahun. Kursus bahasa jawa, bahasa Inggris, ilmu bumi, dan ilmu pasti(Mestoko dkk, 1985:161). Program tersebut menunjukkan jumlah orang yang buta huruf seluruh Indonesia sekitar 32,21 juta (kurang lebih 40%), buta huruf pada tahun 1971. Buta huruf yang dimaksud adalah buta huruf latin (Mestoko dkk, 1985:327). Jadi, kegiatan pemberantasan buta huruf di pedesaan yang diprogramkan oleh pemerintah untuk menanggulangi angka buta aksara di Indonesia dan buta pengetahuan dasar, tetapi pendidikan kurang lebih tidak berdampak pada rumah tangga kurang mampu. Kemerdekaan Indonesia tidak membuat nasib orang tidak mampu terutama dari sektor pertanian menjadi lebih baik. Pemaksaan atau perintah halus gampang muncul kembali, contoh yang paling terkenal dengan akibat yang hampir serupa seperti cara-cara dan praktek pada jaman Jepang, bimas gotong royong yang diadakan pada tahun 1968-1969 disebut bimas gotong royong karena merupakan usaha gotong royong antara pemerintah dan swasta (asing dan nasional) untuk meyelenggarakan intensifikasi pertanian dengan menggunakan metode Bimas (Fakih, 2002:277, Mubyarto, 1987:37). Adapun tujuannya adalah untuk meningkatkan produksi beras dalam waktu sesingkat mungkin dengan mengenalkan bibit padi unggul baru yaitu Peta Baru (PB) 5 dan PB 8.37. Pada jaman penjajahan Belanda juga pernah dilakukan cultuurstelsel, Jepang memaksakan penanaman bibit dari Taiwan. Jadi, rakyat dipaksakan mengikuti kemauan dari pihak penguasa. Cara tersebut kurang lebih sama dengan yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia sebagai cara untuk menghasilkan panen yang lebih maksimal. Muller (1979:73) menyatakan berdasarkan penelitian yang dilakukan di Indonesia bahwa sebagaian besar masyarakat yang masih hidup dalam kemiskinan, paling-paling hanya bisa memenuhi kebutuhan hidup yang paling minim, dan hampir tidak bisa beradaptasi aktif sedangkan golongan atas hidup dalam kemewahan. Pendidikan pada masa Belanda, Jepang dan setelah kemerdekaan sulit dicapai oleh orang-orang dari rumah tangga kurang mampu. Mereka diajarkan dan diberi pengetahuan untuk kepentingan pihak penguasa. Mereka dijadikan tenaga kerja yang diandalkan untuk mencapai keuntungan yang maksimal. Setelah jaman kemerdekaan, rakyat dari rumah tangga kurang mampu terus menjadi sumber pemaksaan secara halus untuk pengembangan bibit padi unggul. Pendidikan sebagai alat penguasa untuk mengembangkan program yang dianggap dapat mendukung peningkatan pemasukan pemerintah Pada masa ini, wajah pendidikan Indonesia lebih terlihat sebagai sosok yang memperjuangkan hak pendidikan. Hal ini dikarenakan pada saat itu, sistem pendidikan yang diberlakukan oleh pemerintah kolonial adalah sistem pendidikan yang bersifat diskriminatif. Artinya hanya orang Belanda dan keturunannya saja yang boleh bersekolah, adapun pribumi yang dapat bersekolah merupakan pribumi yang berasal dari golongan priyayi. Adapun prakteknya sistem pendidikan pada masa kolonial lebih mengadopsi pendidikan ala Eropa. Namun kemudian mulai timbul kesadaran dalam perjuangan untuk menyediakan pendidikan untuk semua kalangan, termasuk pribumi. Maka hadirlah berbagai institusi pendidikan yang lebih memihak rakyat, seperti misalnya Taman Siswa dan Muhammadiyah. Pada masa ini sistem Eropa dan tradisional (pesantren) sama-sama berkembang. Bahkan bisa dikatakan, sistem ini mengadopsi sistem pendidikan seperti yang kita kenal sekarang: Mengandalkan sistem pendidikan pada institusi formal macam sekolah dan pesantren. Perkembangan Pendidikan Indonesia Tahun 1945-1950 (Dari Proklamasi Sampai RIS) Pendidikan di Indonesia setelah proklamasi diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 31 ayat 1,2 dan pasal 32. Pasal 31 ayat satu (1) berbunyi “Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan “ dan ayat dua (2) berbunyi “Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya”. Pasal 32 ayat satu (1) berbunyi “Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya” dan pasal 32 ayat dua (2) “Negara menghormati dan memelihara bahasa daerah sebagai kekayaan budaya nasional. Sedangkan konstitusi sementara RIS menyatakan bahwa Pancasila sebagai dasar negara federal RIS dengan rumusan yang berbeda. Pasal-pasalnya berisi tentang hak-hak dan kebebasan manusia. Tujuan dan dasar pendidikan pada saat itu adalah (1) mencetak warga negara sejati yang menyumbangkan tenaga dan pikiran untuk negara (sebagaimana tercantum dalam Kepmendikjarbud); (2) dasar pendidikan adalah Pancasila (Negara kesatuan I 1945-1949); (3) membentuk manusia susila yang cakap, WNI demokratis dan bertanggung jawab. Dasar Pancasila & kebudayaan kebangsaan Indonesia diatur dalam UUD no.4 tahun 1950 (undang-undang pendidikan dan pengajaran, yang merupakan benih timbulnya system pendidikan nasional). Sistem Persekolahan yang diterapkan pada mulanya adalah Sekolah Rakyat (SR) yang merupakan pendidikan rendah. Pendidikan menengah (umum, kejuruan,keguruan) meliputi SMP, SMT, STP, ST, TM,SKP, SGKP, SGC, SGB dan SGA. Sedangkan pendidikan masyarakat berupa PBH, kursus, dan perpus rakyat. Pendidikan tinggi meliputi akademi, universitas, dan sekolah tinggi. Kurikulum pada setiap jenjang berisi tentang (1) kesadaran bernegara dan bermasyarakat; (2) pendidikan jasmani dan (3) pendidikan watak. Pada tahun 1947, Panitia Mangunsarkoro di bawah pimpinan Ki Mangun Sarkoro menghasilakn lima asa yang disebut Dasar-dasar 1947 atau Panca Dharma. Isi dari dasar-dasar 1947 adalah : (1) kemerdekaan, (2) kodrat alam, (3) kebudayaan, (4) kebangsaan dan (5) kemanusiaan (Kusdaryanti dan Trimo, 2009) Perkembangan Pendidikan Indonesia Tahun 1950-1959 (Demokrasi Liberal) Pada saat demokrasi liberal di awal tahun 1950 pendidikan diatur dalam Undang-Undang Sementara (UUDS) 1950. Tujuan dan dasar pendidikan termuat dalam UU No.4 tahun 1950 yang diberlakukan untuk seluruh Indonesia. Karena terjadi ketegangan yang berkisar pada masalah pendidikan agama, khususnya agama islam maka setelah empat tahun baru diundangkan menjadi UU No.12 tahun1954 tentang Pendidikan dan Pengajaran di Sekolah. Undang-undang No 12 tahun 1954 berlaku hingga tahun 1959. Sistem persekolahan secara formal pada saat itu terdiri dari jenjang pendidikan TK, rendah, menengah, dan tinggi. Usaha penyesuaian yang dilakukan antara lain: Bahasa Indonesia menjadi bahasa pengantar untuk semua SR negeri termasuk SR partikelir dan subsidi. nPenyelenggaraan Pendidikan dimulai dengan Persiapan kewajiban belajar dengan menyusun rencana 10 tahun kewajiban belajar dengan daerah uji coba Pasuruan dan Jepara. PP No.65 tahun 1951: penyerahan urusan sekolah rendah ke pemerintah propinsi kecuali SR patian. Peraturan bersama antara Menteri Pendidikan dan Menteri Agama mengatur tentang pendidikan agama, Pendidikan masyarakat dan Partisipasi pendidikan swasta. Perkembangan Pendidikan Indonesia Merdeka Tahun 1959-1965 (Demokrasi Terpimpin) Setelah Dekrit Presiden 5 Juli 1959, dianggap perlu pengkuhan Sistem Pendidikan Nasional, maka muncul Panca Wardana, yang menekankan pada nation and character building (pembangunan bangsa dan wataknya). Pada saat itu UUD 1945 berlaku lagi. Pada 1960, Panca Wardhana disempurnakan menjadi Sapta Usaha Utamadengan cakupan yang lebih luas. Sapta Usaha Tama merangkum ketentuan-ketentuan Pembukaan UUD 1945, Batang Tubuh dan Pancasila. Pada Tahun 1965, lahir Kepres No.145 tahun 1965 berisi tentang tujuan pendidikan, yaitu supaya melahirkan warga negara sosialis yang bertanggung jawab terselenggaranya masyarakat sosialis Indonesia berjiwa Pancasila seperti dijelaskan dalam Manipol/ Usdek. Sistem Persekolahan selama kurun waktu 1959-1965 meliputi (1) pendidikan Prasekolah (5-7th): TK; (2) SD (7-12 th): SD, MI; (3) SLTP (13-15 th): SMP, SMEP, SKKP, ST, MTs; (4) SLTA ( 16-18 th): SMA, SMEA, STM, SPG,SMOA, MA; (5) PT (19-23 th): Universitas, Institut, Sekolah Tinggi. Sedangkan penyelenggaraan pendidikan meliputi (1) Sapta Usaha Tama; (2) Panca Wardhana; (3) Panitia Pembantu. Pemeliharaan Sekolah dan Perkumpulan Orang Tua Murid dan Guru-guru (POMG); (4) Pendidikan Masyarakat; (5) Perguruan Tinggi. Kurikulum Pendidikan (1). SR diubah menjadi SD (2). Kurikulum SD 1964 terdiri dari 5 kelompok bidang studi (Wardhana): W. perkembangan moral,W. Perkembangan kecerdasan, W. Perkembangan emosional/ artistik,W. Perkembangan keprigelan dan W. perkembangan jasmani (3) Kurikulum SMP 1962 (Kur. SMP gaya baru): Penghapusan jurusan, penambahan jam Krida, pelaksanaan BP. (4) Kurikulum SMA Selama demokrasi terpimpin 2 kali perub.kurikulum yaitu th 1961 dan 1964. SMA terdiri atas bagian A, bagian B, dan bagian C. Perkembangan Pendidikan Nasional Indonesia Tahun 1966-1969 Undang-Undang Dasar 1945 diterapkan secara murni dan konsekuen dengan Tujuan dan Dasar Pendidikan (1) Membentuk manusia pancasilais sejati menurut penbukaan UUD 1945 (2) Dasar pendidikan Pancasila (3) Isi pendidikan: mempertinggi moral,mental, budipekerti, memperkuat keyakinan beragama, mempertinggi kecerdasan dan ketrapilan, membina fisik yang kuat dan sehat. Sistem Persekolahan Masih tetap mengikuti UU No. 12/ 1954. Penyelenggaraan pendidikan bersifat sentralistik di bawah Mentri Pendidikan dan Kebudayaan sebagai pembantu Presiden. Sistem Persekolahan Masih tetap mengikuti UU No. 12/ 1954. Penyelenggaraan pendidikan bersifat sentralistik di bawah Mentri Pendidikan dan Kebudayaan sebagai pembantu Presiden. Sapta Usaha Utama berlaku selama pemerintahan Orde Lama (Orla) hingga lhirnya Orde Baru (Orba, 1966). Sapta Usaha Utama dioperasionalkan melalui Ketetapan MPRS (Majlis Permusyawaratan Sementara). Ketika dicanangkan PELITA (Pembangunan Lima Tahun), ketetapan MPRS tersebut terwujud dalam GBHN (GAris-garis Besar Haluan Negara). Hal ini berlangsung hingga 1989. Perkembangan Pendidikan Nasional Indonesia Tahun 1969/1970-1993/1994 (Pembangunan Jangka Panjang I) UUD 1945 secara murni dan konsekuen masih diperlakukan. Tujuan dan Dasar Pendidikan pada saat itu adalah mengembangkan kepribadian dan kemampuan di dalam dan di luar sekolah dan berlangsung seumur hidup bedasar Pancasila. Undang-Undang No.2 tahun 1989 tentang Pendidikan Nasional lahir ketika Fuad Hasan menjabat sebagai menteri. Dalam pembahasan UU No 2 Tahun 1989 itu juga timbul pro dan kontra. Yang menjadi masalah adalah tentang iman dan takwa, tetapi tidak ada pengerahan massa, karena kondisi ppolitik relative stabil. Sistem Pendidikan dan Persekolahan meliputi (1) Sistem pendidikan terdiri dari jalur pendidikan sekolah dan pendisikan luar sekolah; (2) Sistem persekolahan terdiri dari 3 jenjang yaitu Pendidikan dasar, Pendidikan Menengah, dan Pendidikan tinggi. Program pembangunan pendidikan antara lain perluasan dan pemerataan pendidikan; peningkatan mutu pendidikan dengan pengadaan alat pendidikan, pengadaan buku pelajaran, pengadaan dan peningkatan mutu tenaga pengajar, perubahan kurikulum. Perkembangan Pendidikan Nasional 1995/1996-1998/1999 (Awal Pembangunan Jangka Panjang I) UUD dan dasar pendidikan sistem persekolahan tidak ada perubahan dan masih mengacu pada UUD 1945 dan UU NO.2 tahun 1989. Ketetapan MPR No II/1993 tentang GBHN memberikan arah tujuan pendidikan nasional menurut UU no.2 tahun1989. Program pembangunan pendidika antara lain: perluasan kesempatan belajar; prioritas mutu pendidikan; program link and match; peningkatan penguasaan IPTEK dan pengembangan SDM menyongsong globalisasi. Perkembangan Pendidikan Nasional Pasca Reformasi 1998-Sekarang Undang- Undang Dasar yang digunakan adalah UUD 1945 yang diamandemen. Ketika Malik Fajar sebagai menteri Pendidikan Nasional, timbul inisiatif dari DPR lewat komisi VI tentang Rancangan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (RUU Sisdiknas). Konsep dari DPR tersebut disandingkan dengan konsep Pemerintah yang merujuk kepada naskah akademik yang dirancang oleh Yahya Muhaimin. Naskah yang dirancang Yahya Muhaimin disahkan menjadi UU No. 25 Tahun 2000 berisi tentang Program Pembangunan Nasional (khusus bidang pendidikan). Inisiatif DPR muncul sejak 27 Mei 2002, tetapi Presiden baru pada bulan Februari 2003 mulai menunjuk Mendiknas mewakili Pemerintah untuk membahas RUU Sisdiknas bersama DPR. Pembahasan RUU Sisdiknas ini kembali menimbulkan pro dan kontra karena ditemukan banyak kelemahan, tetapi juga terbelokkan pada masalah agama, hingga terjadi pengerahan massa. Bagaimanapun, akhirnya RUU Sisdiknas disahkan menjadi UU Sisdiknas dan diratifikasi oleh Presiden Megawati Soekarnoputri pada 8 Juli 2003 sebagai Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Secara umum, program pembangunan pendidikan atau agenda pendidikan nasional mencakup: (1) Pengelolaan pendidikan (manajemen); (2) Isi pendidikan (substansi) dan (3) Paradigma baru pendidikan. Penuntasan program pemerataan pendidikan melaui (1) Wajib Belajar Dikdas 9 tahun dan (2) Persiapan Wajar 12 tahun . Peningkatan mutu pendidikan melaui (1) Sarana prasarana; (2) Guru; (3) Kurikulum; (4) Akreditasi, evaluasi, supervise. Pengadaan Link & Match antara SMA dan SMK serta efektivitas dan efisiensi (Good governance) pendidikan. Agenda Pendidikan Nasional 1. Tinjauan kebijakan pendidikan masa lalu: Pada masa Orde Lama (Orla) kondisi pendidikan di Indonesia sebagai berikut: (1) Masa konsolidasi dari sistem pendidikan masa penjajahan menuju system pendidikan nasional; (2. Sampai dengan tahun1959 out put pendidikan belum sesuai dengan kebutuhan dan tantangan bangsa; (3) Pendidikan dilaksanakan dalam rangka semboyan “politik sebagai panglima” dengan arah untuk mencapai tujuan politik nasional: nasionalisme, penggalangan persatuan dan kesatuan, konsep dan implementasi demokrasi Pancasila, politik luar negeri bebas aktif, penggalangan kekuatan negara-negara sedang berkembang (new emergijing forces), pembentukan identitas bangsa, model-model indoktrinasi dalam pendidikan. Kondisi pada masa Orde Baru (Orba) mengalami perubahan yang dapat dilihat dari banyak hal yang dicapai, seperti: pembangunan sekolah dan pengangkatan guru (terutama jenjang pendidikan dasar), pengadaan buku pelajaran, pembangunan perpustakaan desa, pendekatan-pendekatan baru dalam proses pembelajaran, dll.Pendidikan menjadi alat penyeragaman, yaitu pakaian seragam, wadah-wadah tunggal organisasi siswa dan organisasi kemasyarakatan. Akibatnya pendidikan sangat birokratif, kreativitas menurun, kehidupan demokrasi memudar, inisiatif individu nyaris hilang, hak-hak asasi manusia terabaikan demi pembangunan ekonomi, pendidikan mengingkari kebhinekaan. Pada masa Orba ekonomi sebagai panglima. Masa Krisis pun datang yang diawali dengan krisis moneter menyusul negara-negara ASEAN berkembang menjadi krisis multi dimensi (politik, ekonomi, sosial, budaya, ideologi, kepercayaan, dan kepemimpinan. Mulai sejak itu Pemerintah merenungkan kegagalan system pendidikan nasional. Pemerintah menganggap perlunya reformasi berkesinambungan yaitu reformasi yang didukung oleh proses pendidikan sebagai proses pembudayaan. 2.2 Pendidikan Masa Kini Saat ini ada beberapa miskonsepsi, setelah pola pikir ilmu ekonomi diterapkan dalam ilmu pendidikan. Nilai ekonomi yang berarti memperoleh keuntungan dengan memberi pelayanan yang memuaskan kepada pelanggan, tidak tepat sepenuhnya dalam ilmu pendidikan. Murid dianggap raja yang haus dilayani seperti raja, dipuaskan pelayananya karena dia telah memberi keuntungan bagi penyedia jasa pendidikan. Ilmu marketing di ekonomi diterapkan dalam rekruitmen murid baru dengan berbagai jenis pendekatan. Tanpa disadari telah membawa dampak yang kurang positif dalam pengembangan potensi peserta didik. Jika pelayanan terhadap peserta didik bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik seperti yang tercantum dalam tujuan pendidikan nasional, maka hal itu sebagai suatu keniscayaan atau keharusan. Namun kenyataan dilapangan, dengan pelayanan pendidikan yang sepenuhnya menggunakan ilmu ekonomi, yang terjadi adalah mal praktek pendidikan. Fasilitas yang mewah dan canggih, mengantarkan potensi anak lebih menuntut secara instant, saat itu juga. (qun fayaqun) sehingga nilai kesabaran, ketabahan, menahan diri terkikis dalam potensi diri peserta didik. Dalam rangka gerrakan nasional Pendidikan Karakter maka sudah saatnya Pemda, bukan hanya Dinas Pendidikan, harus mulai melakukan harmonisasi kemitraan antara lingkungan sekolah/madrasah dengan lingkungan masyarakat dan lingkungan keluarga. Tradisi Pendidikan keunggulan lokal seperti pesantren yang melestarikan nilai-nilai kebersahajaan, keilmuan, kewirausahaan, kemandirian dan santun harus diaplikasikan dalam Pendidikan Karakter. Partisipasi aparat pemerintah sebagai pimpinan formal di masyarakat harus menjadi panutan, teladan di lingkungan masyarakat, orang tua atau keluarga juga memberi contoh atau tauladan. Menurut hasil penelitian, bahwa perubahan memori otak dari ingatan jangka pendek (sort term memory) ke ingatan jangka panjang (long term memory), ingatan seumur hidup, terjadi saat informasi yang terakhir menjelang tidur. Saat terakhir menjelang tidur itu mempengaruhi kehidupanya kelak. Masyarakat Indonesia baru muncul pada era reformasi yang disebut dengan Masyarakat Madani Indonesia. Ciri masyarakat madani antara lain: (1) Demokratis ; (2)Terbuka; (3) Menghormati hak asasi manusia; (4) Kemerdekaan bukan kemerdekaan tanpa batas; (5) Perlu kesepakatan bersama yaitu dalam bentuk norma hukum; (6) Ada keseimbangan antara kebebasan individual dan tatanan social; (7) Adanya lembaga-lembaga sosial (social institute) yang memungkinkan terjadinya kesinambungan hidup antar generasi yaitu: kelestarian lingkungan hidup, pengembangan kebudayaan, masalah kependudukan, kerukunan hidup antar bangsa. Tantangan yang di dihadapi pendidikan nasional mencakup tantangan internal dan tantangan global. Tantangan Internal Meliputi: (1) Masalah kesatuan bangsa; (2) Demokratisasi pendidikan; (3) Demokratisasi pendidikan; (4) Desentralisasi manajemen pendidikan; (5) Kualitas pendidikan. Sedangkan Tantangan Global meliputi: (1) Pendidikan yang kompetitif dan inovatif (kompetisi dalam kerjasama) bukan mengutamakan soliter tapi team work, identitas bangsa (kebhinekaan budaya Indonesia sebagai dasar identitas bangsa), Pendidikan untuk perdamaian dunia; (2) Perlunya komitmen politik untuk reformasi pendidikan. Paradigma baru pendidikan nasional muncul sebagai reposisi dan reaktualisai nasional. Reposisi pendidikan nasional meliputi: (1) Redefinisi pendidikan nasional; (2) Pendidikan adalah proses pemberdayaan; (3) Pendidikan adalah proses pembudayaan. Reaktualisasi pendidikan nasional mencakup prinsip-prinsip dasar yaitu: (1) Partisipasi masyarakat dalam pendidikan; (2) Demokratisasi proses pendidikan; (3) Sumber daya manusia yang professional dan (4) Sumber daya penunjang yang memadai. Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Pendidikan nasional adalah pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman. Sistem pendidikan nasional adalah keseluruhan komponen pendidikan yang saling terkait secara terpadu untuk mencapai tujuan pendidikan. Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif, menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa; system terbuka dan multimakna; berlangsung sepanjang hayat dengan memberi keteladanan, membangun kemauan, dan mengembangkan kreativitas peserta didik dalam proses pembelajaran dengan mengembangkan budaya membaca, menulis, dan berhitung bagi segenap warga masyarakat, memberdayakan semua komponen masyarakat melalui peran serta dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu layanan pendidikan. Pemerintah dan pemerintah daerah berhak mengarahkan, membimbing, membantu, dan mengawasi penyelenggaraan pendidikan sesuai peraturan perundangan yang berlaku; wajib memberikan layanan dan kemudahan, serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga Negara tanpa diskriminasi; wajib menjamin tersedianya dana guna terselenggaranya pendidikan setiap warga Negara berusia tujuh samapi lima belas tahun. Kandungan Lain Pasal-Pasal dalam UU Sisdiknas No 20 Tahun 2003 Selain sebagaimana telah tersebut di atas UU No. 20 tahun 2003 juga membahas lebih detail mengenai: jalur jenjang dan jenis pendidikan; bahasa pengantar; wajib belajar; standar nasional pendidikan; kurikulum; pendidik dan tenaga kepemdidikan; sarana dan prasarana pendidikan; pendanaan pendidikan; pengelolaan pendidikan; peran serta masyarakat dalam pendidikan; evaluasi, akreditasi dan sertifikasi; pendirian satuan pendidikan; penyelenggaraan pendidikan oleh negara lain; pengawasan; ketentuan pidana; ketentuan peralihan; dan diakhiri dengan PENDIDIKAN MASA DEPAN STRATEGI PENDIDIKAN MASA DEPAN ; SKENARIO TAHUN 2025 Pendidikan abad 21 diwarnai dengan pengaruh globalisasi. Berbagai sistem pendidikan berlomba-lomba diadopsi, dikembangkan dan disesuaikan. Institusi-institusi pendidikan mulai menjamur. Namun muncul kritik dari beberapa orang seperti Ivan Illich, yang menganggap sistem pendidikan hanya berorientasi untuk menghasilkan tenaga kerja untuk kepentingan industri semata. Pendidikan kehilangan maknanya sebagai sarana pembelajaran. Kemudian muncul sebuah ide Home Schooling, yaitu pendidikan yang tidak mengandalkan institusi formal, tapi tetap bisa dilakukan di rumah sesuai kurikulum. Home Schooling adalah pola pendidikan yang dilatarbelakangi adanya ketidakpercayaan terhadap fenomena negatif yang umum terdapat pada institusi formal: adanya bullying, serta metode yang didaktis dan seragam. Namun bukan berarti institusi pendidikan formal tidak menyesuaikan diri. Kini, timbul kesadaran bahwa prestasi bukanlah angka-angka yang didapat di ujian, atau merah-birunya rapor. Melainkan adanya kesadaran akan pentingnya sebuah kurikulum berdasarkan kompetensi. Dari rangkaian sejarah pendidikan yang panjang ini ada satu esensi yang bisa kita ambil yaitu seperti apapun bentuknya, keberhasilan pendidikan pada dasarnya tidak hanya tanggung jawab dari pengelola pendidikan saja tetapi juga menuntut peranandari orangtua yang tidak kalah pentingnya. Sejarah akan terus berulang: Pendidikan berawal dari keluarga. Pendidikan senantiasa diharapkan berimajinasi dan berfokus kekuatannya pada masa mendatang. Perkiraan berdasarkan riset akan menjelmakan kebijakan tepat. Apa yang diinginkan pemerintah dan masyarakat mesti terwujud dalam bentuk kebijakan yang akan dianut oleh berbagai pihak yang berkecimpung dalam pendidikan. Kegagalan pendidikan adalh pada saat lulusannya tidak mampu berbuat apa pun pada saat ada di lapangan, pada saat berupaya di masyarakat. Oleh karena itu, sepatunya pemerintah memperkirakan apa yang akan terjadi pada tahun 2025, misalnya. Perkiraan berarti mencermati apa yang terjadi kini dan apa yang bakal terjadi pada masa mendatang. Paduan ini akan mengerucut pada kebutuhan masyarakat. Apa yang harus dapat dimiliki masyarakat agar dapat tumbuh dan berkembang pada masa yang akan datang. Pendidikan berati harus mengolah peserta didik dengan penggunaan kurikulum yang berbasis pada teknologi berbasis kultur setempat. Mempertimbangkan isu global sangat perlu dan sangat perlu juga memperhatikan apa yang ada di dalam. Pengangkatan potensi diri sangat perlu. Apa yang dapat kita banggakan jika hanya meniru apa yang telah dilakukan negara lain? Kita belum cukup bangga menjadi diri kita sendiri. Negara maju yang kini jadi acuan berbagai negara, misalnya. Jepang negara maju yang tidak melupakan akar kulturnya. Korea Selatan tidak akan pernah melupakan budayanya pada saat bersaing dengan negara lain. Dunia kita kini adalah dunia teknologi. Apa yang tidak terkena aspek teknologi? Teknologi telah memanjakan kita. Berbagai kemudahan dapat dilakukan hanya dengan memijit bagian tertentu. Perangkat apa pun bentuknya sangat ditentukan oleh pengguna. Apa yang akan dilakukukan dengan perangkat itu? Demikian juga dengan bidang pendidikan. Kita tidak dapat menolak kehadiran teknologi dalam bidang pendidikan. Segala lapisan masyarakat telah berbasis teknologi. Perhatikan bagaimana rumah-rumah termasuki, terbiasa dengan penggunaan teknologi di dalamnya. Dalam keseharian orang tidak akan terlpeas dari televisi, misalnya atau mesin cuci, telepon. Perangkat itu telah mengitari kehidupan masyarakat kita. Bagaimana mungkin masyarakat akan dapat hidup di dalam dunia digital jika sekolah melupakan penggunaan teknologi dalam prroses pembelajarannya. Padahal sekolah sangat diharapkan menyiapkan peserta didiknya dapat hidup di masyarakat luas. Jadi, sekolah pada posisi tidak dapat menolak masuknya teknologi dalam dunia pembelajaran di kelas. Pada sisi lain tantangan yang menyegera terus menerus terkait dengan pendidikan adalah perubahan sosial. Kondisi sosial begitu deras berubah dalam berbagai aspek kehidupan. Keteraturan dalam ketidakteraturan menjadi problem yang terus bergulir. Kita tidak akan pernah membayangkan begitu banyaknya pergerakan sosial pada masa kin dan pada masa yang akan datang. Dalam sehari-hari anak-anak kita dapat berkomunikasi dengan teman-teman sekelasnya atau dengan teman-temannya di luar kota, bahkan menjalin hubungan dengan teman-temannya di luar negeri. Mereka berchating ria setiap saat lewat internet. Anak-anak kita telah terbiasa dengan internet. Anak-anak kota telah sangat terbiasa dengan telepon seluler, bersms ria, misalnya. Tantangan itulah yang akan dihadapi pendidikan kita pada saat ini dan apalagi pada saat yang akan datang. Artinya jika kita tidak memulai menggunakan teknologi di sekolah akan sangat tertinggal dalam bidang apa pun dan di mana pun anak-anak kita bergaul. Saat ini teknologi telah sejalan dengan nilai global dan kebijakan. Bangsa di mana pun jika tidak memasukkan dasar teknologi dalam kebijakannya tidak akan dapat berkomunikasi dengan komunitas global. Batas wilayah kini terasa hilang. Kewajiban sekolah begitu beratnya jika kita melihat dari sisi ini. Apa yang harus dilakukan sekolah betul-betul sangat berat. Pendidikan pada milenium ketiga arus holistik (terintegrasi). Guru dan kurikulum membutuhkan perlengkapan yang memungkinkan dapat menolong para muridnya memahami dengan persis seluruh cetak biru dan memahami masalah kemanusiaan untuk memulai hidup pada abad ini. Anak-anak kita memang harus disiapkan agar mereka dapat memulai hidup dengan benar selepas menyelesaikan pendidikannya. Tampakya pekerjaan sekolah makin berat. Menurut hasil penelitian di sekolah-sekolah kita baru memanfaatkan otak anak-anak kita sekira 10%. Kita perlu memperluas agar kita dapat menggenggam kepemilikan kita. Apa yang harus kita ajarkan kepada anak-anak kita mesti berubah setiap saat sejalan dengan perubahan dunia luas. Kini pandangan tentang perdamaian dunia, kesetaraan, kebekerjasamaan, dan kelingkungan berketerusan telah diajarkan di setiap sekolah dunia. Di sekolah-sekolah kita harus juga diajarkan jika kita masuk ke dalam komunitas dunia. Kesadaran akan lingkungan terasa sangat mendesak. Kemungkinan pada tahun 2050 lingkungan kita harus direhabilitasi. Kerusakan lingkungan pada masa kini terasakan akibatnya. Kebakaran hutan, tanah longsor, kesulitan air kini menjadi hal biasa. Hujan yang tidak pernah tepat waktulagi, musim panas yang bergeser akibat ketidakpedulian kita terhadap lingkungan. Anak-anak kita harus disiapkan hidup pada masa sulit. Bagaimana mereka dapat menyayangi ligkungan agar tetap bertahan hidup. Lingkungan juga termasuk informasi yang kian membanjir. Kearifan mesti diajarkan kepada anak-anak kita. Mereka disiapkan untuk dapat memilih ragam informasi yang masuk ke dalam pikirannya. Setiap detik ragam informasi masuk dengan sesuka hati ke dalam rumah melaui televisi, intenet, telepon genggam, surat kabar. Kurikulum kita harus mengantisipasi hal-hal seperti itu. Dengan demikian guru khususnya harus berkopetensi dalam bidang teknologi. Beberapa hal akan dibicarakan sebagai bekal kita dalam pengisian pendidikan yang diharapkan dapat menjadikan bangsa kita berdaya saing internasional pada tahun 2025. MERCUSUAR PENGETAHUAN Perpustakan secara teori menjadi bagian penting dalam keseluruhan pendidikan sebagai satu sistem. Rangkaian program yang disusun pemerintah tentang perpustakaan secara terkendala. Peminat perpustakaan sangat kurang. Daya baca yang didasarkan pada minat baca masih perlu didongkak. Penciptaan perpustakaan yang menjadi magnit bagi anak-anak menjadi penting manakala kita berkeinginan mencerdaskan bangsa. Artinya keseriusan pengurusan perpustakaan dicanangkan sebagai bagian yang dirancang dengan segala usaha dan daya. Kita tidak cukup hanya membawa sejumlah buku dalam mobil ke desa-desa atau ke sekolah-sekolah. Pada masa kini, sebagai usaha mewujudkan tujuan pendidikan 2025, perpustakaan dibuat bernuasa teknologi dan berdaya sekolah/tempat belajar global. Daerah mempunyai daya membuat perpustakaan di setiap desa dengan fasilitas yang memadai. Bangunan perpustakaan seyogyanya menjadi daya tarik bagi anak-anak, bagi remaja, bagi mahasiswa, bahkan bagi orang tua ntuk berkunjung, untuk berdiskusi tentang ilmu kehidupan. Mari kita berimajinasi jika di daerah kita berdiri perpustakaan dengan bangunan resik, ruangan ber-AC, internet, mudah mencari makanan kecil, buka dua puluh empat jam. Dalam perpustakaan itu kita bisa berdiskusi tentang bisnis dengan teman kita yang berada di kota lain, bahkan di negara lain karena perpustakaan itu memiliki fasilitas tele-conference, electronic meeting. Kita dapat memperpanjang imajinasi itu. Setiap pengunjung yang mencai apa pun mudah karena berbasis data. Perpustakaan itu memiliki jejaring global. Jangan lupa di perpustakaan itu terdapat kamar khusus mandiri. Pendek kata kita menjadi betah di perpustakaan itu. Pendek kata perpustakaan itu dapat mengalihkan anak-anak dari televisi. Perpustakaan itu bukan milik sekolah. Ia milik pemerintah yang dikelola dengan baik dan berkualitas. Ia dikelola dengam manajemen modern, tetapi dengan harga yang rendah. Perpustakaan itu menjadi mercusuar. Ia memancarkan aura ke mana-mana. Setiap orang merindukan perpusatakaan itu. Setiap orang memeliharanya dengan tetap datang ke perpustakaan itu. Di perpusatakan itu juga disiapkan sekolah global, tempat pembelajaran orang dewasa. Murid-murid dapat berinterkasi satu sama lain dengan menggunakan teknologi. Ia mencari informasi sebagai bahan menjalani hidup pada masa yang akan datang. Murid-murid berkolaborasi satau sama lain dalam memecahkan berbagai permasalahan yang muncul. Sekolah menjadi satu keutuhan dengan perpusatakaan modern itu. Prorgam ini dirancang untuk melawan tantangan yang masuk ke rumah. Anak-anak kita telah terbisa hidup ditemani televisi. Larangan sulit diterapkan. Kita harus melawannya dengan memunculkan kesenangan pada anak. Di samping itu, perpustakaan sebagai persisapan anak-anak kita masuk ke dalam persaingan global, persaingan internasional. Apakah pemerintah pusat/daerah berkeinginan mendirikan perpustakaan seperti itu? Pemerintah daerah yang berkeinginan memajukan wilayahnya dengan mencerdaskan warga tidak akan berkeberatan memasukkan pendirian perpustkaan itu ke dalam APBD. ANAK-ANAK USIA DINI Lingkungan menjadi penting bagi pertumbuhan masa depan anak. Penciptaan lingkungan (fisik terutama psikis) yang memberikan kebebasan dan mudah akses. Tahun pertama merupakan masa penting bagi bagi kehidupan anak-anak dalam hal kesehatan psikis, emosional, dan perkembangan mental. Pada kondisi ini merupakan tahapan penting bagi peletakan fondasi pembelajaran mereka. Masa itu, jika kita pahami menjadi bagian esensial sistem pendidikan. Penanganan masa usia dini akan menentukan kesuksesan mereka di sekolah. Fondasi penting sebagai daya tahan pada saat berbagai pengetahuan, wawasan, bahkan serbuan infrormasi masuk ke dalam dirinya. Orang tua dan siapa pun yang peduli terhadap perkembangan anak-anak mesti menyiapkan ragam fasilitas yang memungkinkan mereka bertahap dapat mengembangkan potensinya secara benar. Penanganan anak-anak usia dini seharusnya dihiasi dengan hati ikhlas, penuh cinta, penyaringan informasi, banyak latihan, banyak simulasi, dan interkasi sosial. Kebahagian dalam berinteraksi harus diciptakan orang tua agar mereka dapat berkembang dengan baik. Apa yang harus diajarkan kepada anak-anak prasekolah? Mengapa kita harus mengajarkan disiplin ”mati”? Pendidikan usia dini selayaknyalah memperhatikan bagaimana anak-anak memerlukan kebebasan bergerak, berceloteh, berimajinasi. Orang tua dan pengasuh mesti pandai bercerita. Anak-anak memerlukan kebebasan lingkungan. Alam bebas dengan udara segar sangat diperhatikan anak-anak. Adaptasi dengan lingkungan dan mempelajarinya adalah hal peting dalam program usia dini. Dalam alam bebas kesalingcintaan dimunculkan, kolaborasi ditanamkan, bermusik dibiasakan, bercerita dilantunkan, saling berinteraksi dirangsangkan. Apakah kita sudah memperhatikan pendidikan usia dini. Pemerintah kita sedang memperhatikannya. RPP sedang disiapkan untauk pendidikan usia dini. Jika kita tidak memperhatikan dengan saksama kita akan kehilangan generasi yang mampu bersaing di dunia global, internasional. PUSAT PEMBELAJARAN MASYARAKAT Sekolah pada masa yang akan datang kemungkinan tidak dapat memenuhi kebutuhan masyarakat. Orang tua akan menuntut jenis sekolahyang beragam. Mereka berkeinginan anak-anaknya dapat belajar dengan ragam sesuai dengan bakat dan potensi anak-anaknya. Pengembangkan anak-anak di sekolah tidak lagi dibatasi dengan kelas dan usia. Mereka diperbolehkan memilih materi yang diminatinya. Mereka boleh melilih belajar dengan guru mana pun yang mereka sukai. Ragam pembelajaran ini membutuhkan fasilitas yang lengkap. Pada waktu yang bersamaan beberapa murid belajar di perpustakaan sedangkan murid lain belajar di musium yang tempatnya jauh dari sekolah. Beberapa murid kemungkinan sedang berada di kebun rindang. Mereka memperhatikan buah-buahan untuk memperoleh pengetahuan. . Anak-anak yang senang pada seni kemungkinan sedang berada di gedung kesenian. Mereka menyaksikan pertunjukan drama atau mereka sedang berinterkasi dengan aktor terkenal, dengan sutradara, dengan penulis skenario atau bahkan dengan guru teater sekolah. Suasana semacam ini menciptakan komunitas belajar. Para murid dihadapkan pada banyak pilihan. Pembentukan komunitas belajar sebagai respons atas kebutuhan masyarakat yang memang beragam dalam berbagai hal; kebutuhan, minat, motivasi. Pusat pembelajaran kelak bagian dari pelayanan pemerintah terhadap publik. Hal ini memungkinkan karena arah pendidikan telah bergeser dari sentralisasi ke desentralisasi. Pemerintah daerah mesti berkemauan kuat menciptakan ragam terobosan dalam bidang pendidikan sebagai salah satu aktualisasi keotonomannya dalam bidang pemerintahan. Pusat-pusat pembelajaran di daerah dibuka 18 jam. Fasiltas lengkap dengan tatanan modern. Standar pendidikannya bertaraf nasional mengarah pada internasional. Layanan pemerintah kepada publik tidak akan sia-sia. Masyarkat cerdas terwujud dengan keinginan kuat pemerintah untuk mewujudkannya. Pembentukan komunitas belajar ini sebagai antisipasi pada masa yang akan datang, yaitu tentang kemungkinan masyarakat tidak lagi memerlukan sekolah. Mereka beranggapan segala hal dapat diperoleh melali bantuan teknologi. Di rumah terpasang televisi, video, internet. Melalui fasilitas itu mereka dapat memperoleh apa pun yang mereka butuhkan. Situasi ini harus dimanfaatkan sekolah dengan penyediaan fasilitas yang memungkinkan mereka memanfaatkan pengetahuan yang telah mereka peroleh di rumah. Apa pun alasannya lingkungan edukatif masih akan dibutuhkan. Orang tua menyadari sepenuhnya bahwa anak-anak mereka tidak akan maksimal tumbuh hanya dididik di rumah. Pada umumnya orang tua akan meninggalkan rumah dalam waktu tertentu dan kemungkinan dalam waktu yang lama. Sekolah harus dapat menggantikan peran orang tua. Pertimbangan pembentukan komunitas pusat belajar agar murid dapat para murid belajar berkonsentrasi pada bidang yang diminatinya. Perolehan pengetahuannya melalui proses mandiri melalui komunikasi dengan sesama kelompok dan dengan bantuan teknologi yang disediakan sekolah. Pendidikan berbasis praktik. Para murid belajar berbicara dan menulis melalui proyek atau lokakarya. Sekolah seharusnya menajdi tenpat perolehan pengalaman. Oleh karena itu, sekolah harus kaya akan berbagai fasilitas yang meungkinkan para murid berinteraksi dengan cara yang berbeda. Para murid belajar mempertanggungjawabkan pilihannya secara rasional dan diketai orang banyak. KELAS MASA DEPAN Apa yang dinamakan kelas pada sekolah tradisional terbatas dan terikat pda aturan kaku. Ruangan yang tidak fleksibel menyebabkan gerak murid sangat terbatas. Mereka tidak bisa beredar leluasa. Sekarang bayangkan di sebuah ruangan murid berinteraksi dengan leluasa. Setai ruangan dapat diubah sesuai dengan tema pembelajaran, misalnya mempelajari kelautan. Warna diubah bernuansa kelautan, gambar-gambar ikan, ombak, kepal laut. Pada saat mempelajari sejarah latar ruangan diubah lagi. Pada saat pelajaran seminar, meja dan kursi diubah melingkar. Pada saat mempelajari budaya asing, televisi disiapkan untuk menonton bersama filem asing. Alat-alat elektronik tersedia. Pada saat belajar tentang kelauatan ragama kegiatan dilakukan murid. ada yang menggambar laut. Ada yang mencari informasi tentang cuaca. Ada yang berkerumun memperhatikan televisi yang sedang mendeskripsikan tentang laut. Setelah itu, mereka berkumpul berdiskusi berbagai hal tentang kelautan. Pelajaran diakhiri dengan bertanya kepada ilmuwan untuk mengecek penemuan mereka. Langkah seperti ini dilakukan agar para murid dapat membandingkan apa yang baru mereka pelajari dengan kepakaran kelautan. Tambahan pengetahuan akan mereka miliki. Perbincaqngan ini dilakukan di kelas dengan menggunakan faslitas teleconference. Suasana kelas diciptakan kolaboratif. Murid harus merasakan kesalingtergantungan. Bahwa mereka tidak dapat melakukan kegaitan tanpa kerja sama. Pelatihan ini menjadi dasar kuat pada saat mereka berhadapan dengan dunia nyata. Belajar dengan kegiatan mengelami akan menghilangkan kemampuan semu. Berbagai masalah akan mereka hadapi dan mereka belajar bagaiaman mengatasinya dengan cara yang tepat dari waktu. BERBASIS KELUARGA Keluarga segalanya bagi anak-anak. Pendidikan pertama di keluarga. Lingkungan di luar menjadi ujian dan penguatan. Apa yang kini terjadidi rumah dapat mencengankan kita. Segala bentuk hiburan dunia dengan mudah masuk tanpa sensor. Caci-maki para akator, narasi kejahatan, raungan yang terpinggirkan masuk ke rumah kita. Ia masuk ke dalam pikiran anak-anak kita. Jadi, lingkungan rumah kita telah terisi ragam informasi. Tantangan berat untuk pendidikan. Guru harus berkerja keras menghadapinya dengan sikap bijak. Dunia kini menjadi lapangan publik yang terbuka pada TV, radio, dan internet tumbuh sangat besar menyediakan balikan instan, hukuman dan sanksi pada ”pemimpin” yang terlalu agresif. Dunia tidak ada lagi penghalang. Apa yang terjadi di belahan dunia sana dengan cepat dapat tertangkap di sini. Hari ini desa global hadir di tengah-tengah kita. Bagaimana keluarga dapat melepas begitu saja. Kita tidak dapat memungkiri kini kelompok masyarakat sejalan dengan tren di televisi. Agaknya tidak salah jika banyak orang tua telah kehilangan kontaknya dengan anak-anaknya digantikan perannyta oleh televisi. Penguatan keluarga, karena itu menjadi sangat penting. Didikan kesopanan dan kesantunan harus dimulai dari keluarga. Keharmonisan dimunculkan dengan gaya dialog. Kesetararaan diciptakan dengan saling pengharmatan dan penghargaan. Apa yang terjadi di luar tidak akan pernah berpengaruh jika dinding yang kita bangun kuat. Dinding itu adalah dinding ibu dan dinding bapak. BAB III PENUTUP A. Simpulan 1. Pendidikan adalah kerja bareng, kuncinya adalah kepedulian semua orang, semua pihak. 2. Pendidik secara edukatif menekan para pemutus kebijakan, orang tua, para pebisnis, dan stakeholder lainnya untuk bersama-sama bertanggung jawab menyiapkan lingkungan edukatif. 3. Pemerintah daerah berkemampuan memutus kebijakan yang berpihak pada pendidikan. Putusan yang benar akan menjadi inves bagi anak-anak kita agar dapat berkiprah di pasar global. B. Saran-saran 1. Marilah kita lebih fokus dalam membangun sumber daya manusia melalui pendidikan. 2. Para pemimpin semestinya berpikir dalam bertindak dan berkiprah berdasar pada kebergunaan untuk masa depan bangsa. Daftar Pustaka Anonim. 2011. Uraian Sejarah Pendidikan. http://tinulad.wordpress.com/sedikit-uraian-sejarah-pendidikan/. Diakses Tanggal 13 Nopember 2012 Hasbullah. 1995. Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia: Lintasan Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan. Jakarta: Raja Grafindo Persada ________, 2002. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta Kusdaryanti ,Wiwik dan Trimo. 2009. Landasan Kependidikan. Semarang: IKIP Press. Redja Mudyahardjo. 2001. Pengantar Pendidikan. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Tilaar, H. A. R. 2000. Paradigma Baru Pendidikan Nasional. Jakarta: Raja Garafindo Sukardjo,M. Ukim Kamaruddin.2010. Landasan Pendidikan, Konsep dan Aplikasinya. Jakarta : Rajawali Pers

Tidak ada komentar:

Posting Komentar