Minggu, 20 April 2014

HAKIKAT PENDIDIKAN

HAKIKAT PENDIDIKAN OLEH RAPIUDDIN I.PENDAHULUAN a. Latar Belakang Berdasarkan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 tahun 2003, pendidikan Nasional adalah pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar RI 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia, dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman (Sukardjo,2010:67). Harapan bangsa ini adalah bagaimana pendidikan mampu mencerdaskan anak bangsa, membentuk watak dan peradaban bangsa yang bertabat sejajar dengan bangsa-bangsa lain di muka bumi ini. Kita sepakat bahwa pendidikan merupakan sesuatu yang tidak asing bagi kita, apalagi kita bekerja dan mengabdi untuk pendidikan. Juga kita pasti sepakat bahwa pendidikan pada saat ini sudah menjadi kebutuhan utama setiap orang. Hal ini sejalan dengan program wajib belajar yang dicanangkan oleh pemerintah. Namun demikian seringkali orang melupakan makna dan hakikat pendidikan itu sendiri. Makalah singkat ini mencoba mengungkap makna pendidikan yang terkadang dimaknai secara sempit. Makalah ini akan memberikan gambaran tentang pendidikan dari beberapa pendapat pakar pendidikan yang dimulai dengan pengertian pendidikan secara etimologis dan terminologis. b. Masalah Adapun yang menjadi masalah dalam pembahasan ini adalah: 1. Apa arti pendidikan ? 2. Bagaimana fenomena pendidikan di Indonesia? 3. Apa hakikat pendidikan itu? II. PENGERTIAN PENDIDIKAN Hampir setiap orang pernah mengalami pendidikan, tetapi tdak semua orang mengerti tentang makna pendidikan itu sendiri. Makna pendidikan secara sederhana dapat diartikan sebagai usaha manusia untuk membina keperibadiannya sesuai dengan nilai-nilai di dalam masyarakat dan kebudayaannya. Dengan demikian bagaimanapun sederhananya peradaban manusia dapat dipastikan bahwa membutuhkan proses pendidikan. Karena itulah sering dikatakan bahwa pendidikan telah ada sepanjang peradaban umat manusia. Untuk memahami pendididikan ada dua istilah yang dapat mengarahkan pada pemahaman tentang hakikat pendidikan yaitu paedagogie dan paedagogik ( Purwanto, 1995:3). Paedagogie bermakna pendidikan dan paedagogiek bermakna ilmu pendidikan. Oleh karena itu, tidak mengherankan bila paedagogik atau ilmu mendidik-lah mempengaruhi kedewasaan anak didik secara sistematis. Paedagogiek sebagai ilmu teori keilmuan pendidikan baru berkembang di Eropa pada abad ke-20. Di luar dari kontinen Eropa ilmu paedagogiek berkembang lebih dulu, khususnya ilmu mengajar (didaktif) pada abad ke-16 s.d. 17 ditandai dengan terbitnya buku Allegemeine Pedagogik. Pendidikan menurut orang Yunani adalah “pedagogik” yaitu ilmu menuntun anak, orang Romawi memandang pendidikan sebagai “educare” yaitu mengeluarkan dan menuntun, tindakan merealisasikan potensi anak yang dibawa lahir ke dunia ini. Bangsa Jerman melihat pendidikan sebagai “erzichung” yang setara dengan educare , yakni membangkitkan kekuatan terpendam atau mengaktifkan kekuatan atau potensi anak. Menurut Herbart, pendidikan merupakan pembentukan peserta didik kepada yang diinginkan sipendidik yang diistilahkan educere. Dalam kamus besar Bahasa Indonesia, pendidikan berasal dari kata dasar “didik” (mendidik), yaitu memelihara dan memberi latihan (ajaran pimpinan) mengenai akhlak dan kecerdasan pikiran. Sedangkan pendidikan mempunyai pengertian proses pengubahan dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan latihan, proses perluasan, dan cara mendidik. Ki Hajar Dewantara mengartikan pendidikan sebagai upaya untuk memajukan budi pekerti, pikiran serta jasmani anak, agar dapat memajukan kesempurnaan hidup dan menghidupkan anak yang selaras dengan alam dan masyarakatnya. Dalam realita perkembangan pendidikan , paedagogi modern khususnya yang berhubungan dengan pembelajaran dikenal munculnya Taksonomi Blom yang membagi pengajaran atas,(1) bidang kognitif, (2) bidang afektif, dan (3) bidang psikomotor. 1.Tinjauan Etimologis Istilah pendidikan menurut Carter V. Good dalam “Dictionary of Education” dijelaskan sebagai berikut: a. Pedagogy sebagai seni, praktik atau atau profesi sebagai pengajar (pengajaran), atau diartikan sebagai ilmu yang sistematis atau pengajaran yang berhubungan dengan prinsip-prinsip dan metode-metode mengajar pengawasan dan bimbingan murid dalam arti luas diartikan dengan istilah pendidikan. b. Education diartikan 1. Proses perkembangan pribadi; 2. Proses sosial; 3. Profesional cources; 4. Seni untuk membuat dan memahami ilmu pengetahuan yang tersusun yang diwarisi / dikembangkan generasi bangsa. Dalam bahasa Arab pendidikan disebut tarbiyah yang berasal dari rabba yang bermakna memelihara , mengurus, merawat, dan mendidik, atau proses pengembangan potensi yang dianugrahkan pada manusia. 2. Tinjauan terminologis. a. Ki Hajar Dewantara mengartikan pendidikan sebagai upaya untuk memajukan budi pekerti , pikiran serta jasmani anak , agar dapat memajukan kesempurnaan hidup dan menghidupkan anak yang selaras dengan alam dan masyarakatnya. Lebih jauh dia menjelaskan bahwa pendidikan umumnya berarti daya upaya untuk memajukan bertumbuhnya budi pekerti, pikiran, dan tubuh anak. Lebih lanjut Ki Hajar Dewantara menjelaskan bahwa pendidikan harus mengutamakan aspek-aspek berikut : 1. Segala alat, usaha dan cara pendidikan harus sesuai dengan kodratnya keadaan. 2. Kodratnya keadaan itu tersimpan dalam adat-istiadat setiap rakyat, yang oleh karenanya bergolong-golong merupakan kesatuan dengan sifat prikehidupan sendiri-sendiri, sifat-sifat mana terjadi dari bercampurnya semua usaha dan daya upaya mencapai hidup tertib damai. 3. Adat istiadat, sebagai sifat perikehidupan atau sifat percampuran usaha daya dan upaya akan hidup tertib damai itu tiada terluput dari pengaruh zaman dan tempat, oleh karena itu tidak tetap senantiasa berubah. 4. Akan mengetahui garis hidup yang tetap dari sesuatu bangsa perlulah kita mempelajari zaman yang telah lalu. 5. Pengaruh baru diperoleh karena bercampurgaulnya bangsa yang satu dengan yang lainnya. Haruslah waspada dalam memilih mana yang baik untuk menambah kemuliaan hidup dan mana yang merugikan. b. Menurut Richy dalam buku “Planing for Teaching and Introduction to Education”. Mengatakan bahwa istilah pendidikan berkenaan dengan fungsi yang luas dari pemeliharaan dan perbaikan kehidupan suatu bangsa atau masyarakat. c. Lodge memerikan pengertian pendidikan dalam arti sempit dan luas. Pengertian pendikan secara sempit menurutnya berarti pendidikan dibatasi pada fungsi tertentu dalam masyarakat yang terdiri atas penyerahan adat istiadat dengan latar belakang sosialnya, pandangan hidup masyarakat itu kepada warga masyarakat generasi berikutnya. Sedang pendidikan dalam arti luas disebutnya sebagai semua pengalaman dalam kehidupan manusia. III. PENOMENA PENDIDIKAN DI INDONESIA Bagi orang-orang yang berkompeten dalam dunia pendidikan di Indonesia pasti menyadari bahwa pendidikan kita masih sakit parah. Hal itu terlihat dari keluaran lembaga pendidikan kita khususnya pendidikan dasar dan menengah belum menunjukkan kualitas yang diharapkan. Salah satu penyebabnya adalah peserta didik belum mampu mengarahkan bakat dan minatnya, peserta didik baru mampu menyebutkan cita-cita atau tujuan hidupnya. Padahal cita-cita dengan bakat minat harus diselaraskan sehingga tujuan akhir yang akan dicapai akan lebih mudah untuk meraihnya. Selain dari itu sistem pendidikan kita juga belum memberikan kebebasan kepada peserta didik untuk mengekspresikan kemampuannya. Hal itu terjadi karena peserta didik diposisikan sebagai manusia yang tidak tahu apa-apa. Masalah lain adalah lembaga pendidikan kita baru mampu memenuhi kebutuhan zaman dan bukannya mampu bersikaf kritis terhadap zamannya. Di sisi lain birokrasi belum sepenuh hati memberikan fasilitas dan pengawasan. Pertanyaan yang harus kita jawab sendiri adalah mampukah kita menjadikan lembaga pendidikan sebagai sarana interaksi kultural untuk membentuk manusia yang sadar akan tradisi dan kebudayaan serta keberadaan masyarakatnya sekaligus juga mampu menerima dan menghargai tradisi dan budaya situati masyarakat lain. Paul Suparno SJ mengibaratkan pendidikan di Indonesia sebagai mobil tua yang mesinnya rewel yang sedang berada di tengah-tengah arus lalu lintas di jalan bebas hambatan dalam Sukarjo,2010:79). Pernyataan tersebut mengisyaratkan begitu parahnya mutu pendidikan di Indonesia. Lebih jauh Sudarminta, SJ mengungkap masalah besar dalam pendidikan Indonesia , yaitu : 1) mutu pendidikan kita yang masih rendah; 2) sistem pembelajaran di sekolah-sekolah yang belummemadai, dan 3) krisis moral yang melanda masyarakat kita. Menteri Pertahanan RI di masa pemerintahan Presiden SBY periode pertama pernah mengemukakan kemungkinan pendidikan kita selama bertahun-tahun terpasung oleh kepentingan-kepentingan yang masih tersamar. Pendidikan kita tersisih di antara keinginan-keinginan mengejar pertumbuhan ekonomi dan daya saing bangsa. Padahal, negara tetangga Malaysia yang belakangan mendapat kemerdekaan dibandingkan Indonesia pertumbuhan ekonominya maju jauh lebih pesat, karena pada tahap awal kemerdekaan itu diperoleh pendidikanlah yang menjadi skala prioritas dari pemerintah. Hal ini menujukkan bahwa keberhasilan pendidikan akan berbanding lurus dengan pesatnya pertumbuhan ekonomi. Meskipun demikian, dalam menyikapi keterpurukan pendidikan menjadi PR bagi semua pihak yaitu: pemerintah, tenaga kependidikan, dan masyarakat (pemerhati pendidikan). Pendidika n yang lebih mengutamakan kecerdasan intelektual tanpa diimbangi dengan kecerdasan spiritual budi pekerti, tentu akan menghasilkan manusia-manusia cerdas yang tidak memiliki budi pekerti yang baik. Ada beberapa unsur yang sangat berpengaruh terhadap mutu pendidikan yaitu; sekolah, masyarakat, dan lingkungan keluarga. Ketiganya harus saling mendukung satu sama lain. IV. HAKIKAT PENDIDIKAN Hampir setiap orang pernah mengalami proses pendidikan, namun tidak setiap orang mengerti makna kata pendidikan, pendidik, dan mendidik. Untuk memahami pendidikan , ada dua istilah yang dapat mengarahkan pada pemahaman tentang hakikat pendidikan, yakni paedagogie dan paedagogik. Paedagogie bermakna pendidikan, sedangkan paedagogiek bermakna ilmu pendidikan (Purwanto, 1995:3). Pendidikan merupakan transfer of knowledge, transfer of value dan transfer of culture, and transfer of relegius yang semoga diarahkan pada upaya untuk memanusiakan manusia. Hakikat proses pendidikan ini sebagai upaya untuk mengubah perilaku individu atau kelompok agar memiliki nilai-nilai yang disepakati berdasarkan agama, filsafat, idiologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, dan pertahanan keamanan. Menurut pandangan Paula Freire pendidikan adalah proses pengaderan dengan hakikat tujuannya adalah pembebasan. Hakikat pendidikan adalah kemampuan untuk mendidik diri sendiri. Dalam konteks ajaran Islam hakikat pendidikan adalah mengembalikan pada nilai-nilai ilahiyah pada manusia (fitrah) dengan bimbingan Alquran dan hadits sehingga manusia berakhlakul karimah. Dengan demikian hakikat pendidikan adalah sangat ditentukan oleh nilai-nilai, motivasi, dan tujuan dari pendidikan itu sendiri. Maka hakikat pendidikan dapat dirumuskan sebagai berikut: 1. Pendidikan merupakan proses interaksi manusiawi yang ditandai keseimbangan antara kedaulatan subjek didik dengan kewibawaan pendidik. 2. Pendidikan merupakan usaha penyiapan subjek didik menghadapi lingkungan yang mengalami perubahan yang semakin pesat. 3. Pendidikan meningkatkan kualitas kehidupan pribadi masyarakat’ 4. Pendidikan berlangsung seumur hidup. Pendidikan sebagai ilmu (paedagogik) berkembang karena berbagai dukungan dengan munculnya beberapa aliran dan teori-teori tentang pendidikan. John Lock seorang filsuf Inggris mempelopori Aliran Empirisme, Lock yang menganut paham Rasionalisme mengemukakan teori bahwa anak yang lahir ke dunia dapat diumpamakan seperti kertas putih yang kosong yang belum ditulisi. Dengan kata lain, bayi yang baru lahir merupakan anak yang suci , tidak mempunyai bakat dan pembawaan apa-apa, dalam hal ini tergantung siapa memberi warna dari kertas putih itu. Hal ini menujukkan bahwa lingkungan memberikan peran yang sangat penting untuk membentuk bakat, minat, kecerdasan, dan lain-lain. Bertentangan dengan Aliran Empirisme, Nativisme, aliran yang dipelopori oleh Schopenhouer (1788-1860) seorang filsuf Jerman mengatakan bahwa setiap anak yang lahir telah memiliki bakat. Bakat dan pembawaan akan berkembang menurut arahnya masing-masing. Menurut paham ini lingkungan tidak mempengaruhi keberhasilan pendidikan, melainkan anak itu sendiri yang menentukan keberhasilannya. Pandangan yang berbeda dikemukakan oleh Aliran Naturalisme, yang dimotori oleh J.J Rousseaue yang berpendapat bahwa semua anak yang lahir membawa pembawaan baik, namun pembawaan baik itu akan berubah sesuai lingkungan di mana anak itu bertumbuh dan berkembang. Sementara itu, Aliran Konvergensi mengemukan bahwa anak yang baru lahir membawa bakat dan potensi kedua-duanya yaitu pembawaan baik dan pembawaan buruk. Aliran ini pun mengakui bahwa proses perkembangan anak dipengaruhi baik faktor bawaan maupun faktor lingkungan secara bersama-sama mempunyai peranan yang sangat penting. Willian Stern (1871-1939) seorang ahli jiwa berkebangsaan Jerman sebagai pelopor aliran konvergensi menjelaskan pemahamannya tentang pentingnya pembawaan dan lingkungan dengan dua perumpamaan dua garis yang menuju ke satu titik pertemuan. V. PENUTUP Pendidikan sebagai penentu masa depan bangsa di masa yang akan datang sehingga bangsa ini dapat disejajarkan dengan bangsa-bangsa lain yang telah maju lebih duluan. Maka penulis menyimpulkan beberapa hal, sbb: 1. Hakikat pendidikan adalah upaya sadar untuk mengembangkan potensi yang dianugrahkan Tuhan kepada manusia dan diarahkan pada tujuan yang diharapkan agar memanusiakan manusia atau menjadikannya sebagai insan yang berakhlak mulia. Hakikat pendidikan ini dapat terwujud melalui proses pengajaran, pembelajaran, pembersihan dan pembiasaan dengan memperhatikan kompetensi –kompetensi paedagogi berupa profesi dan keperibadian sosial. 2. Pendidikan menumbuhkan budi pekerti, kekuatan batin, karakter, pikiran, dan tubuh peserta didik yang dilakukan secara integral tanpa dipisah-pisahkan antara ranah-ranah tersebut. 3. Mutu Pendidikan sangat terkait dengan pola kebijakan birokrasi, pengembangan kemampuan tenaga kependikan, dan kondisi masyarakat sebagai pemerhati pendidikan. Daftar Pustaka Ali, Mohammad. Ilmu dan Aplikasi Pendidikan. Bandung: Pedagogiana Press, 2007 Dewantara, Ki Hajar. Bagian Pertama Pendidikan. Yogyakarta: Majelis Luhur Taman Siswa, 1977. Nata, Abuddin. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Gaya Media Pratama, 2005. Suparno, Paul. Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan, Yogyakarta: Kanisius, 2002 Sukardjo, M. Landasan Pendidikan. Jakarta: Rajawali Pers, 2010.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar