Minggu, 20 April 2014

KINERJA GURU DAN PROFESSIONALISME

KINERJA GURU DAN PROFESIONALISME OLEH RAPIUDDIN BAB I PENDAHULUAN Dalam beberapa dasawarsa terakhir ini Indonesia telah berhasil melangkah jauh dalam menyediakan akses pendidikan dasar bagi semua namun secara keseluruhan mutu pendidikan di negara ini masih tertinggal. Sistem pendidikan Indonesia tidak menghasilkan lulusan dengan tingkat pengetahuan dan kecakapan yang bermutu tinggi secara konsisten. Negara ini nampaknya telah mencapai kemajuan dalam pendidikan seperti yang tercermin dalam nilainya dalam ujian tahun 2007. Tetapi ujian yang sama menunjukkan bahwa kemampuan matematika lebih dari separuh anak didik Indonesia yang berpartisipasi berada di bawah tingkat kecakapan dasar Hasil anak didik Indonesia dalam ujian TIMSS (Trends in International Mathematics and Science Study) lebih rendah dibandingkan dengan negara lain yang berpartisipasi dalam TIMSS, bahkan setelah memperhitungkan status sosial dan ekonomi keluarganya. Hasil ini menunjukkan bahwa penyebab utama kinerja yang lebih rendah adalah kekurangan dalam sistem pendidikan dan bukan kondisi rumah tangga. Kemampuan dasar membaca dan menulis siswa Indonesia juga sangat memprihatinkan. Penelitian oleh Hanushek (2007) mengukur kemampuan membaca dan menulis di sejumlah negara, berdasarkan data survei rumah tangga yang digabungkan dengan ujian pencapaian anak didik internasional. Hasil temuan untuk Indonesia menunjukkan bahwa di antara angkatan anak didik yang baru tamat kelas 9, yang merupakan tahun terakhir dalam "pendidikan dasar", hanya 46 persen yang benar-benar mencapai kemampuan membaca dan menulis secara fungsional. a. Kualitas guru sebagai faktor penentu utama hasil pendidikan Kualitas guru merupakan faktor terpenting dalam meningkatkan kualitas pendidikan. Penelitian menunjukkan bahwa pengetahuan dan kemampuan guru memiliki dampak yang signifikan pada kinerja akademis anak didiknya. Seperti catatan dalam laporan McKinsey yang menyatakan bahwa, "Kualitas sistem pendidikan tidak mungkin melampaui kualitas gurunya" (Barber dan Mourshed, 2007, halaman 16). Meskipun belum ada bukti yang konklusif tentang karakteristik guru yang paling berpengaruh pada kinerja murid, penelitian hampir secara universal memperlihatkan pentingnya kualitas guru. Penelitian tentang TVASS (Sistem Penilaian Bernilai Tambah di Tennessee), misalnya, memperkirakan bahwa lebih dari 50 persen dari kesenjangan pencapaian selama tiga tahun antara dua kelompok berusia antara 8 dan 11 tahun disebabkan karena kelompok yang satu diajar oleh guru berkemampuan tinggi (20 persen tertinggi di antara tenaga pendidik) sementara kelompok yang lain diajar oleh guru berkemampuan rendah (20 persen terbawah). Hasilnya, pada usia 11 tahun, kelompok yang diajar guru berkemampuan tinggi meraih nilai di persentil ke-93, sementara kelompok yang diajar guru berkemampuan rendah meraih nilai di persentil ke-37 (Sanders dan Rivers 1999). b. Pengetahuan, keterampilan dan kinerja guru Indonesia Beberapa penelitian dan analisis mulai memberikan gambaran luas mengenai kompetensi umum guru Indonesia dari segi latar belakang akademis, pengetahuan mata pelajaran dan pedagogi, dan praktik pengajaran dalam ruang kelas mereka. Kualifikasi akademik kebanyakan guru Indonesia masih lebih rendah dari yang dipersyaratkan undang-undang. UU Guru yang diberlakukan pada tahun 2005 mensyaratkan bahwa semua guru memiliki gelar S1/D4. Namun, data guru dari sensus tahun 2006 menunjukkan bahwa hanya 37 persen dari semua guru memiliki gelar tersebut dan 26 persen hanya merupakan lulusan sekolah menengah atas atau dibawahnya. Faktanya, banyak guru yang bahkan belum mencapai tingkat pendidikan yang disyaratkan oleh undang-undang sebelumnya: gelar D2 bagi guru sekolah dasar, gelar D3 untuk guru sekolah menengah pertama dan gelar S1/D4 bagi guru sekolah menengah atas. Saat ini, 20 hingga 25 persen dari semua guru di Indonesia masih belum memenuhi kriteria sebelumnya yang lebih rendah ini. Proporsi guru yang belum memenuhi kualifikasi menjadi semakin besar menurut ketentuan UU Guru 2005. Misalnya, proporsi guru sekolah dasar yang memiliki gelar S1/D4 bahkan sangat rendah--hanya 16 persen. Terdapat juga kekhawatiran tentang pengetahuan mata pelajaran, kompetensi pedagogi dan kemampuan akademis umum guru di Indonesia. Pada tahun 2004, Ke menterian Pendidikan Nasional melakukan tes ujian kemampuan bagi guru sekolah dasar dan sekolah menengah yang telah diseleksi sebelumnya untuk memperoleh gambaran mengenai kompetensi profesional mereka. Meskipun sampel guru tidak mewakili secara nasional, nilai guru yang rendah terutama untuk bidang studi utama menimbulkan kekhawatiran. Nilai rata-rata (yaitu persentase jawaban yang benar) dari guru sekolah dasar hanya 38 persen. Bagi guru sekolah menengah, nilai rata-rata dari 12 mata pelajaran hanya 45 persen, dengan pencapaian nilai fisika, matematika\ dan ekonomi hanya 36 persen atau kurang. BAB II PEMBAHASAN 2.1 Professionalisme Guru Indonesia Diberlakukannya UU Guru tahun 2005 merupakan usaha terbaru Indonesia dalam menangani beberapa permasalahan mendasar berkaitan dengan kualitas guru. Undang-undang ini menciptakan mekanisme "sertifikasi" untuk memastikan tingkat kompetensi profesional guru. Untuk memperoleh sertifikasi, seorang guru harus memiliki gelar D4 atau S1, mengumpulkan nilai kredit yang cukup dari pelatihan profesi guru pascasarjana dan mengajar minimal 24 jam per minggu. Guru yang telah memperoleh sertifikasi berhak atas tunjangan profesi setara dengan gaji pokok mereka. Pemerintah bermaksud agar mulai tahun 2015 hanya guru bersertisikasi yang dapat mengajar sesuai dengan sistem sekolah Indonesia. Tahun-tahun awal sertifikasi guru telah memberikan pencerahan atas langkah-langkah yang berhasil serta bidang-bidang yang perlu perbaikan. Banyak pihak pesimis yang awalnya mempertanyakan apakah sertifikasi itu sendiri akan direalisasikan. Fakta bahwa Kemendiknas telah mampu membangun struktur dan mengatur berbagai pemangku kepentingan--termasuk universitas, kantor dinas propinsi dan kabupaten/ kota, dan sekolah serta guru--di negara yang sedemikian beragam dan rumitnya saja merupakan keberhasilan tersendiri. Tahun-tahun awal implementasi membutuhkan kompromi, baik politik maupun operasional untuk mengawali proses terkait. Namun demikian, proses sertifikasi tidak statis atau ditetapkan untuk berlaku selamanya, dan tujuan serta prosesnya telah dikaji ulang dan disesuaikan dari waktu ke waktu sehingga sertifikasi dapat terus berkembang menjadi instrumen yang lebih baik. Dengan wawasan ke depan, serangkaian pertanyaan harus dijawab sebelum dapat memutuskan apakah prakarsa sertifikasi akan efektif dalam meningkatkan pembelajaran siswa dan akan berujung pada peningkatan kualitas pendidikan di Indonesia. Pertanyaan ini meliputi: (1) Apakah peningkatan kompensasi guru dapat menarik lulusan universitas-- yang jumlahnya termasuk masih kecil jika dibandingkan dengan tenaga kerja Indonesia secara keseluruhan--untuk menjadi guru? (2) Bagaimana pelatihan prajabatan dapat menyeleksi dan mempersiapkan guru pada masa mendatang agar tambahan masa pelatihan tidak terbuang percuma? (3) Bagaimana peningkatan kualifikasi pendidik dapat diterjemahkan menjadi pendidikan dengan berkualitas yang lebih baik dalam konteks Indonesia, apakah memungkinkan? (4) Bagaimana kualifikasi guru yang telah ada dapat ditingkatkan tanpa mengorbankan standar sertifikasi ataupun semangat moral guru? (5) Bagaimana insentif untuk kinerja pengajaran yang lebih baik dapat diciptakan dan dipertahankan, khususnya setelah sertifikasi? (6) Apakah keterbatasan fiskal yang ketat akan memperlambat tunjangan guru dan dengan demikian tidak menepati janji reformasi? (7) Bagaimana kualitas pendidikan dapat lebih dikaitkan dengan tanggung jawab atas pengangkatan dan pemecatan guru serta pendanaan sekolah. Bagian berikut ini memaparkan analisis permasalahan tersebut. Proporsi angkatan kerja Indonesia dengan gelar diploma atau universitas masih rendah, saat ini kurang dari 10 persen. Dengan adanya persyaratan gelar D4/S1, profesi pendidik pada akhirnya akan harus bersaing untuk memperebutkan sekelompok kecil tenaga kerja yang memiliki kualifikasi lebih tinggi. Dengan demikian, paket kompensasi yang kompetitif merupakan prasyarat untuk memastikan bahwa profesi guru tidak akan kekurangan calon guru. Mengelola Tenaga Pendidik dalam Indonesia yang Terdesentralisasi: Usaha yang Menantang Pendapatan guru dengan gelar S1/D4 atau lebih tinggi selama beberapa tahun ini berada di bawah pendapatan pekerja lainnya dengan tingkat pendidikan yang sama. Secara historis, pemerintah menetapkan tingkat gaji guru di atas rata-rata pekerja dengan ijazah SMA sampai D3, namun di bawah lulusan perguruan tinggi (S1 atau D4). Maka, tidak mengherankan jika fakta menunjukkan bahwa kurang dari 40 persen guru Indonesia memiliki gelar D4 atau S1 ke atas.. Penghasilan riil guru telah meningkat lebih pesat dibandingkan dengan non-guru dalam beberapa tahun terakhir. Pengamatan lebih dekat menunjukkan bahwa pendapatan riil guru telah bertahan konstan dalam jangka waktu yang digambarkan, sementara penghasilan non-guru telah terkikis oleh inflasi. Data survei tenaga kerja menunjukkan bahwa tingkat gaji relatif guru dan mata pencaharian alternatif banyak berpengaruh pada keputusan untuk menjadi seorang guru. Peningkatan gaji berskala besar untuk guru dengan pendidikan perguruan tinggi yang dijanjikan dalam undang-undang terkini akan menarik pekerja lulusan perguruan tinggi untuk menjadi guru. Diperkirakan bahwa gaji yang ditetapkan dalam undang-undang akan mampu meningkatkan proporsi guru di antara keseluruhan tenaga kerja lulusan perguruan tinggi dari 16 persen menjadi sekitar 30 persen. Estimasi ini mengindikasikan rata-rata 24 hingga 25 siswa per guru yang memiliki ijazah perguruan tinggi namun akan meningkatkan beban biaya gaji guru lebih dari 30 persen (Chen 2009). 2,2 Rekruitmen Tenaga Kependidikan Profesi guru telah menjadi profesi yang lebih menarik, perguruan tinggi dan kampus LPTK mengalami lonjakan pendaftaran yang cukup signifikan. Banyak program pelatihan guru kini diperluas untuk mengakomodasi naiknya permintaan akan pendidikan guru prajabatan. Kualitas calon mahasiswa yang memasuki program pendidikan guru semakin meningkat, jika dilihat dari segi nilai ujian masuk perguruan tinggi yang baik. Menyaring sedikit guru yang efektif dari banyak calon yang berkualifikasi: Seleksi prajabatan dan pelatihan. Dengan semakin menariknya profesi pendidik maka melakukan seleksi calon yang tepat dan memberikan pelatihan yang benar telah menjadi tantangan yang semakin besar bagi Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) di Indonesia. Membiarkan hukum pasokan dan permintaan mendorong jumlah calon yang mendaftar masuk ke lembaga pendidikan keguruan tidak akan berhasil dalam hal ini, karena mayoritas guru merupakan pegawai pemerintah dan daya pasar saja tidak akan dapat memastikan bahwa jumlah guru yang dihasilkan memang sesuai dengan jumlah yang benar-benar dibutuhkan. Dalam situasi Indonesia saat ini, calon guru yang memasuki sistem sebenarnya lebih banyak daripada jumlah guru yang dibutuhkan. LPTK saat ini meraup keuntungan dari meningkatnya minat untuk menjadi guru, namun mengendalikan jumlah mahasiswa yang mendaftar tidaklah menguntungkan bagi LPTK. Proses seleksi calon guru di Indonesia sangat berbeda dibandingkan dengan beberapa negara tetangga seperti Singapura dengan kinerja pendidikan yang tinggi. Sebagian besar proses untuk memasuki profesi guru di Indonesia terjadi pada saat perekrutan lulusan LPTK. Dibandingkan dengan negara-negara berkinerja terbaik di mana seleksi ketat pada dasarnya dimulai sebelum calon mahasiswa memulai kuliah mereka di perguruan tinggi kependidikan, Indonesia baru melaksanakan proses seleksi pada saat calon guru telah lulus LPTK. Guru di Indonesia diseleksi dan direkrut dari kelompok yang lebih besar ini. Sebagai ilustrasi perbedaan proses seleksi tersebut, di Singapura, dari setiap 100 calon mahasiswa yang berniat memasuki institut kependidikan, hanya 20 yang diterima. 90 persen dari calon mahasiswa yang lolos seleksi ini setelah lulus akan menjadi bagian dari angkatan kerja kependidikan. Sebaliknya di Indonesia, diperkirakan hanya sekitar separuh dari lulusan LPTK yang akhirnya memasuki angkatan kerja kependidikan. Proses seleksi yang ketat untuk memasuki LPTK akan memberikan setidaknya dua keuntungan:membangun citra pendidik sebagai profesi yang bergengsi dan akan mendorong adanya program pendidikan guru dengan materi yang lebih menantang. Pengalaman internasional menunjukkan bahwa seleksi yang efektif memberikan penekanan pada pencapaian akademis para calon guru, kecakapan komunikasi dan motivasi mereka untuk mengajar. Usaha yang Menantang Program studi empat tahun untuk pelatihan guru sekolah dasar dan program pelatihan pascasarjana profesi guru masih dalam tahap dini. Sebelumnya, guru sekolah dasar hanya disyaratkan untuk menjalani pelatihan selama dua tahun dan memperoleh gelar diploma ilmu pendidikan dua tahun (D2). Sejak UU Guru tahun 2005 diberlakukan, beberapa Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) yang ditunjuk telah merencanakan dan kini tengah melaksanakan program studi empat tahun (Pendidikan Guru Sekolah Dasar atau PGSD) yang menghasilkan gelar S1 untuk guru sekolah dasar dalam jumlah yang terbatas. Selain itu, UU Guru mensyaratkan agar baik calon guru sekolah dasar maupun sekolah menengah memperoleh pengalaman dan melanjutkan pelatihan profesi pascasarjana. Proses pemenuhan kualifikasi akan disediakan dalam bentuk Pendidikan Profesi Guru atau PPG dan ditujukan untuk memastikan bahwa para calon guru lebih siap untuk menjadi guru yang berkualitas dan memenuhi kualifikasi untuk sertifikasi. Namun program baru ini sekarangmasih belum dimulai. Upaya terus dilakukan untuk memaksimalkan kapasitas yang ada, mengingat begitu besarnya sumberdaya yang dibutuhkan untuk meningkatkan fasilitas, Meningkatkan kualifikasi akademik dan melakukan sertifikasi tenaga kerja kependidikan yang ada Dengan 3,3 juta guru, yang hanya 37 persen diantaranya memiliki gelar D4/S1, bagaimana Indonesia akan melakukan transisi ke tenaga kerja ke pendidikan yang sepenuhnya bersertifikasi adalah pertanyaan yang krusial.Nampaknya terdapat risiko yang besar bahwa proses sertifikasi akan terpaksa mengorbankan kualitas. Pada awalnya, konsep sertifikasi memasukkan tolak ukur kompetensi yang ketat, termasuk dipersyaratkannya ujian kompetensi guru secara obyektif dalam mata pelajaran mereka masing-masing. Namun dengan adanya tekanan politik, peran proses sertifikasi kini diprioritaskan sebagai mekanisme untuk meningkatkan kesejahteraan guru (melipatgandakan gaji guru) , sementara aspek kualitasnya turun menjadi prioritas kedua.Proses sertifikasi saat ini sebagian besar bergantung pada kajian portofolio untuk menilai kualitas guru, suatu proses yang secara umum diakui tidak memadai untuk memilah antara guru berkualitas tinggi dan berkualitas rendah. Proses portofolio juga cenderung berpotensi rentan terhadap rekayasa guru (dengan maraknya pasar gelap ijazah palsu dan kelengkapan portofolio lainnya). Selain itu, proses sertifikasinya sendiri sepenuhnya diserahkan kepada sektor universitas sehingga menciptakan permasalahan standarisasi dan korupsi. Sesuai dengan rancangan saat ini, sertifikasi merupakan proses yang hanya dilaksanakan satu kali saja;guru yang bersertifikasi tidak dipersyaratkan untuk melalui proses sertifikasi ulang atau menunjukkan kinerja yang memadai dalam rangka mempertahankan status sertifikasi mereka. Keterbatasan ini boleh jadi merupakan sebab maupun akibat dari beberapa kelemahan yang dibahas di bawah ini. Sertifikasi guru saat ini belum didukung oleh kerangka kerja jaminan mutu dan akuntabilitas. Sertifikasi hanya dapat mengevaluasi karakteristik dan kemampuan guru pada saat tertentu tetapi tidak bisa menjamin kinerja guru tersebut dengan berjalannya waktu. Mekanisme lainnya, seperti penilaian kinerja, penghargaan, sanksi, penegakan standar, ujian anak didik untuk mengukur prestasi hasil pembelajaran dan penyebaran informasi secara transparan kepada pemangku kepentingan utama, juga harus dilaksanakan untuk memastikan adanya kualitas dan akuntabilitas. Tidak jelas bagaimana cara guru bisa dituntut untuk bertanggung jawab atas kualitas kinerja pengajaran mereka. Meskipun Indonesia memiliki mekanisme akuntabilitas yang telah ditetapkan, mekanisme ini jarang dilaksanakan secara efektif. Dalam sistem yang ada saat ini, akuntabilitas guru dipantau oleh kepala sekolah yang memberikan laporan pada kantor dinas pendidikan yang berwenang atas remunerasi guru. Guru juga bertangung jawab langsung kepada wali murid dan masyarakat berkaitan dengan kualitas pengajaran mereka. Dengan desentralisasi sistem pendidikan, kepala sekolah dan pihak dinas setempat yang berwenang, terutama pengawas sekolah, mengemban sebagian besar tanggung jawab atas manajemen guru. Dengan kata lain, kini keputusan manajemen guru semakin berbasis sekolah. Sayangnya petugas sekolah setempat secara umum tidak dipersiapkan dengan baik untuk mengemban tanggung jawab ini, termasuk menuntut tanggung jawab guru terkait dengan kualitas pekerjaan mereka. Sistem promosi berdasarkan profil guru, lengkap dengan batasan jenjang karir serta pembedaan jenjang gaji juga masih belum ada. Sistem promosi yang progresif seperti ini lazim digunakan di negara lain dan memberikan perkiraan jalur karir bagi para pendidik, berdasarkan peningkatan kemampuan mereka secara terus menerus. Peningkatan kecakapan mengajar dan kinerja dalam sistem seperti ini diberikan penghargaan berupa insentif finansial yang dikaitkan dengan kemajuan profesi dan promosi. Juga tidak ada mekanisme yang efektif untuk mengelola guru yang kurang efektif. Proses penilaian generik yang lazim digunakan untuk pegawai sipil sebenarnya tidaklah memadai dalam menilai kinerja guru. Diperlukan proses penilaian kinerja yang berbeda untuk guru, yang akan memberikan kepala sekolah kemampuan untuk mengaitkan sasaran kinerja guru baik dengan sasaran kinerja sekolah maupun dengan peningkatan prestasi pribadi setiap guru. Yang lebih memprihatinkan, saat ini tidak ada persyaratan yang mewajibkan guru melakukan program pelatihan induksi sebagai bagian dari tahun percobaan mereka. Semestinya, akhir dari tahun percobaan tersebut dijadikan titik kritis manajemen guru agar lebih ketat menyaring calon yang tidak layak berprofesi sebagai pendidik. Biaya guru akan banyak meningkat dalam dasawarsa mendatang. Seiring dengan masuknya guru-guru baru ke dalam sistem pendidikan sementara guru-guru yang menjabat melewati proses sertifikasi, maka semakin besarlah porsi anggaran pendidikan yang akan dialokasikan untuk gaji guru, termasuk tunjangan profesi. Dengan keterbatasan finansial dan logistik maka tidak memungkinkan bagi semua calon guru yang memenuhi syarat untuk langsung menjalani proses sertifikasi. Dalam upaya untuk mengendalikan jumlah guru yang menerima tunjangan profesi maka Kemendiknas menetapkan sistem kuota. Dalam sistem ini, setiap tahun satu angkatan guru menjadi layak untuk merampungkan proses sertifikasi. Menurut perkiraan Kemendiknas saat ini, semua guru akan disertifikasi pada tahun 2014. Guru yang telah bersertifikasi dalam tahun tertentu akan menerima tunjangan profesi dalam tahun berikutnya dan akan terus menerima tunjangan tersebut hingga masa pensiunnya. Diperkirakan bahwa pada tahun 2015, tunjangan profesi (sertifikasi) saja akan setara dengan sekitar dua pertiga total pembelanjaan pendidikan pada tahun 2006 di tingkat pusat, propinsi dan kabupaten/kota. Pada tahun 2012, dengan mempertimbangkan biaya gaji guru lainnya (misalnya gaji pokok, tunjangan fungsional baru dan tunjangan daerah khusus) maka belanja gaji guru secara keseluruhan akan lebih besar dari total belanja pendidikan pada tahun 2006 di tingkat pusat, propinsi dan kabupaten/kota. Jika tekanan fiskal yang signifikan akibat sertifikasi tidak dikelola dengan baik, maka akan ada risiko bahwa guru bersertifikasi tidak menerima tunjangan profesinya tepat waktu, bahwa proses tersebut secara keseluruhan akan melambat, dan pada akhirnya profesi pendidik tak lagi menjadi profesi yang menarik bagi lulusan universitas yang berkaliber tinggi. 2.3 Penggajian dan Penilaian Kinerja Guru Konsekuensi finansial yang besar terkait dengan sertifikasi guru sebagaimana dijabarkan di atas membuat efisiensi pemanfaatan guru menjadi hal yang sangat perlu diperhatikan. Rasio siswa-guru Indonesia, baik di tingkat sekolah dasar maupun menengah, sangat rendah dibandingkan dengan negara-negara tetangga. manajemen pengajaran kelas yang lebih baik dan pembelajaran dengan lebih banyak Pelaksanaan persyaratan mengajar minimum 24 jam di dalam ruang kelas, merujuk pada UU Guru tahun 2005 akan sangat tergantung pada sejauh mana peraturan pengangkatan guru yang ada dapat diubah. Meskipun kebijakan baru ini merupakan metode yang inovatif untuk mengendalikan biaya guru secara tidak langsung, hingga saat ini terdapat kesulitan dalam menerapkan kebijakan karena alasan logistik maupun politik. Diperlukan sistem basis data guru yang terbaharui untuk menjejaki jam mengajar guru, terutama dengan berjalannya waktu. Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan (PMPTK) telah membuat basis data guru NUPTK, yang kini sudah berada dalam jaringan (online) dan terbaharui dengan waktu nyata (real time). Tantangan yang lebih besar selama ini datang dalam bentuk pertentangan dari guru-guru yang tidak mampu memenuhi persyaratan jam mengajar minimum. PMPTK terpaksa melunak dalam hal peraturan ini dan memberikan cara lain bagi guru untuk memenuhi syarat tersebut selain dengan mengajar di kelas. Pelunakan peraturan ini dapat dimengerti sebagai solusi jangka pendek namun cenderung akan membuat kebijakan ini kehilangan kekuatannya dan menjadi tidak efektif dalam jangka panjang. Kerangka kerja penjaminan mutu Manajemen guru yang secara keseluruhan membutuhkan sistem penjaminan mutu yang memiliki fungsi dengan definisi yang jelas bagi setiap pemangku kepentingan. Sistem seperti ini juga harus memiliki strategi dan instrumen untuk menilai dan menuntut akuntabilitas individu dan lembaga atas kinerja guru dan pembelajaran anak didik. Secara umum, kerangka kerja penjaminan mutu memiliki aspek-aspek berikut: (1) standar kinerja; (2) penilaian kinerja; (3) pelaporan kinerja; (4) evaluasi dapak kebijakan dan program; (5) persyaratan operasional; (6) sumber daya yang memadai dan merata; (7) otonomi, intervensi dan dukungan; dan (8) akuntabilitas dan konsekuensi atas kinerja yang buruk. Saat ini, sebagian besar upaya manajemen guru di Indonesia masih hanya berdasarkan pada standar dan persyaratan serta, dalam ruang lingkup tertentu, sertifikasi guru; aspek-aspek lain belum diperhatikan secara memadai. Sekolah perlu dijadikan bagian inti pembahasan jika masalah lemahnya penjaminan mutu guru ingin diatasi. Sekolah merupakan lini terdepan--tempat permintaan pengangkatan guru muncul pertama kali, tempat kinerja guru dapat diamati, dan tempat hasil pengajaran dan pembelajaran dapat diukur. Di berbagai negara, pemberian wewenang bagi sekolah untuk merekrut dan memberhentikan guru pada akhirnya terbukti efektif dalam meningkatkan kinerja dan akuntabilitas guru. Namun perlu ditetapkan kerangka kerja penjaminan mutu di Indonesia untuk mendukung pengambilan keputusan terdesentralisasi yang efektif. Prinsip reformasi Guru-guru yang dulunya sangat terbebani karena harus mengajar setiap kelas pada jam pelajaran yang berbeda- beda kini bisa lebih efektif menggunakan waktunya. Perbandingan nilai ujian menunjukkan peningkatan yang lebih tinggi dalam kelas rangkap dibandingkan sekolah berkelas tunggal di kabupaten tersebut; ini menunjukkan efektifitas pengajaran kelas rangkap dari sudut pandang kualitas. Diusulkan agar untuk sekolah menengah, guru sebaiknya ditempatkan berdasarkan jumlah siswa, dengan rasio siswa-guru 24:1 untuk sekolah menengah Guru juga harus mengajar dengan beban ajar penuh (yaitu 24 jam) sebagai syarat untuk menerima tunjangan profesi untuk sertifikasi. (Mengajar paruh-waktu selayaknya dilanjutkan hanya bagi guru yang bersedia bekerja tanpa menerima tunjangan profesi). Guru sebaiknya memiliki akreditasi untuk dapat mengajar lebih dari satu mata pelajaran ,terutama di sekolah kecil dengan beban ajar yang tidak cukup untuk satu mata pelajaran saja. Pada akhirnya, keberhasilan UU Guru dan sertifikasi akan sangat ditentukan oleh dampak UU tersebut pada kualitas guru baru yang memasuki profesi ini. Dari sudut pandang ini, Indonesia tengah berada di titik kritis dalam reformasi program pendidikan keguruannya. Efektifitas pendidikan prajabatan dapat ditingkatkan melalui: (1) penyaringan calon guru secara efektif; (2) materi kuliah dan teknik pengajaran yang relevan untuk memastikan adanya keterkaitan yang lebih erat antara mata kuliah di universitas (LPTK) dan pengajaran aktual dalam ruang kelas di sekolah; (3) kolaborasi dengan sekolah untuk membantu guru baru beradaptasi denganbaik dalam pekerjaan barunya. Seleksi guru sebaiknya dilakukan pada tahap dini dengan menggunakan perangkat penyaringan dan proses yang memadai. Seleksi yang paling ketat dan menyeluruh seharusnya terjadi sebelum calon guru memulai pelatihan keguruan pascasarjana. Beasiswa dapat diberikan untuk menarik pendaftar yang berkualitas tinggi dengan komitmen dari mereka untuk bersedia ditempatkan di sekolah yang terpencil dan tertinggal. Pendidikan prajabatan yang berkualitas harus tanggap akan kebutuhan staf sekolah. Perlu dilaksanakan studi pelacakan secara berkala atas jalur karir lulusan Lembaga Pelatihan Tenaga Kependidikan (LPTK) agar dapat diusahakan kaitan yang lebih baik antara pelajaran di bangku kuliah dan kecakapan mengajar dengan keberhasilan dalam ruang kelas. Peran LPTK sebagai pusat pelatihan (atau "klinik") perlu lebih ditekankan dalam menyediakan pengembangan profesional yang berkesinambungan bagi guru yang tengah menjabat sehingga dapat memastikan bahwa mutu dari tenaga kerja pendidik terus dipertahankan dan ditingkatkan melalui metodologi pengajaran terkini dan pengembangan kemampuan yang berkesinambungan. Sebagai sentra layanan "purna jual", LPTK perlu memiliki hubungan profesional yang lebih erat dengan sekolah melalui kantor dinas pemerintah kabupaten/kota dan jejaring guru setempat. Memperkuat rancangan kurikulum dan penyelenggaraan pendidikan keguruan sekolah dasar (S1 atau PGSD) dan pelatihan profesi guru pascasarjana (PPG) merupakan kunci untuk guru yang berkualitas dalam masa datang. Upaya harus difokuskan pada restrukturisasi program pendidikan yang ada saat ini untuk guru sekolah dasar dengan memperkuat pengetahuan mata pelajaran dan pedagogi, sehingga menanamkan dasar yang kokoh untuk pelatihan profesi pascasarjana yang berfokus pada keterampilan mengajar praktis. Reformasi yang dilaksanakan perlu dikonsentrasikan terutama pada memperkenalkan pengetahuan dan keterampilan yang akan banyak bermanfaat untuk meningkatkan mutu pengajaran dan pembelajaran dalam jangka panjang, seperti pengajaran kelas rangkap. Ini merupakan peluang yang kritis dalam menyeleksi calon guru bermutu tinggi dan dalam memberikan keterampilan mengajar yang benar-benar diperlukan melalui pembinaan dan praktek di ruang kelas yang sesungguhnya. Beberapa praktik dan kebiasaan baru juga dapat diperkenalkan pada saat ini, seperti memberlakukan persyaratan agar guru sekolah menengah mampu mengajar minimal dua mata pelajaran, pengajaran yang berpusat pada kelompok dan siswa, dan metode pengajaran baru yang terbukti efektif. 2. 4 Professionalisme Guru di Singapura A. Penggajian Guru Dr. Loh, seorang trainer dari dinas pendidikan Singapura mengatakan bahwa tahun 1980, gaji guru di Singapura sangat rendah, namun pemerintahnya memang fokus memajukan dunia pendidikan dari banyak sisi, termasuk yang menjadi prioritas adalah gaji guru, saat ini guru di singapura minimal mendapat gaji 6000 dollar perbulan atau setara Rp. 40.200.000 sedangkan gaji guru sekolah swasta sekitar 1.800 dollar setara Rp. 12.060.000. Kalau kita bandingkan dengan negera kita. Semoga niatan pemerintah baik, suci dan berjalan lancar dengan program kenaikan kesejahteraan guru. Memang semua harus bersabar karena jumlah guru Indonesia sangat besar artinya kesejahteraan itu diberikan secara bertahap. Namun di satu sisi, kita masih berharap pemerintah dapat melakukan percepatan untuk hal yang satu ini. Mengapa begitu? Sebab dengan pemberitaan informasi yang sangat terbuka dewasa ini, kita semua dapat mengetahui bahwa ternyata negara ini kaya raya, banyak pos-pos dana yang mestinya dapat diprioritaskan untuk pendidikan rakyatnya. B. Hanya Sekali Kesempatan Menjadi Guru Ini yang luar biasa dan mencengangkan dii Singapura, yang berhasil menjadi guru, lalu tidak harus santai-santai. Guru dituntut produktif, kreatif dan berkembang. Setiap sekolah mempunyai teacher’s assessment (penilaian guru). Jika kepala sekolah sudah menyatakan seorang guru tidak mampu bekerja dan diperhentikan, maka selesai sudah profesi guru bagi orang tersebut. Karena orang tersebut tidak akan pernah di terima kerja sebagai guru di sekolah manapun di Singapura. Bekerja menjadi guru di Singapura harus profesional, tidak bisa seenaknya sendiri. Mungkin kita berpikir ini terlalu ketat buat guru, ternyata setelah menjalaninya, manajemen yang sistematis dan teratur malah memantik untuk lebih kreatif dan profesional, dan tidak akan menjadi tekanan bagi guru.. Bagaimana dengan di negara kita? Munif Chatib dihujat oleh guru dari salah satu sekolah binaannya. Katanya Multiple Intelilgences System yang diterapkan tidak manusiawi. Membuat guru repot. Membuat guru selalu diobservasi. Membuat guru tertekan. Membuat guru malah tidak kreatif dan pelatihan-pelatihan yang diberikan tidak mempunyai arti apapun. Betapa paradigma guru tersebut sangat ‘jadul’. Akhirnya dengan berjalannya waktu dapat dsiimpulkan bahwa guru tersebut adalah guru PEMALAS, SOMBONG, menghancurkan kepercayaan wali murid, dan ikut memberi sumbangan terbesar terpuruknya kualitas pendidikan di negeri ini. Dapat dibayangkan jika guru seperti itu dipindahkan ke Singapura, mungkin hanya seminggu saja betah dan berprofesi guru, minggu berikutnya dipulangkan ke daerah asal. C. Pelatihan Guru 100 jam Pertahun Setiap guru baru maupun guru lama di Singapura berhak mendapatkan jatah 100 jam pelatihan yang diadakan oleh pemerintah. Yang lebih hebat lagi, kepala sekolahlah yang diminta merancang topik atau materi pelatihan untuk guru-gurunya. Usulan materi itu disetor ke dinas pendidikannya dan dari situlah dirancang pelatihan secara nasional. Kepala sekolah mempunyai semacam mapping kompetensi gurunya. Data materi pelatihan apa saja yang pernah diikuti oleh setiap orang guru. Dan juga evaluasi pemahaman setiap guru terhadap materi pelatihan. Jika telah dievaluasi seorang guru masih lemah terhadap satu atau dua materi pelatihan maka akan diikutkan lagi pelatihan dengan topik tersebut. Kepala sekolah juga meminta masukan dari guru sebagai self asessment, materi atau topik apa saja yang mereka ingin perdalam atau yang ingin mereka ketahui sebagai sesuatu yang baru. Itu dirancang dan diserahan sebagai usulan kepada dinas pendidikan. Mereka nanti menyusun dan menjadwalkan pada waktu yang ditentukan. Kepala sekolah mendata setiap guru yang aktif mengajar di sekolah tersebut dan akan mendapat pelatihan 100 jam setiap tahun dengan topik yang berbeda-beda. BAB III PENUTUP 3.1 Simpulan 1. Perbandingan professionalisme Guru di Indonesia dan Singapura ibaratnya antara langit dan bumi. Perbedaan yang sangat jauh itu terutama diakibatkan oleh perbedaan paradigma pembangunan yang diterapkan kedua negara. Pemerintah Indonesia sejak kemerdekaannya meletakkan pembangunan pada pertumbuhan ekonomi sehingga pertumbuhan kemampuan sumber daya manusia terabaikan. 2. Tuntutan professionalisme guru di Indonesia membutuhkan kebijakan yang komprehensif untuk dapat mengejar ketertinggalan dari negara-negara tetangga. Termasuk sistem penggajian yang masih setengah hati dari pihak pemerintah dengan tersendat-sendatnya pembayaran tunjangan professional yang mengakibatkan dalam bidang pengawasan kinerja tidak dapat berjalan dengan baik 3. Desentralisasi pendidikan mengakibatkan terjadinya pengkotak-kotakan dalam dunia pendidikan di Indonesia. Hal ini terutama disebabkan karena adanya perbedaan pola kebijakanan antara daerah yang satu dengan yang lainnya. Dengan demikian mengakibatkan terjadinya kecemburuan dari kalangan guru sehingga berakibat pada kinerja. 3.2 Saran-saran 1. Penulis mengajak kepada seluruh tenaga kependidikan untuk meningkatkan professionalismenya guna mengejar ketertinggalan negeri ini dalam dunia pendidikan. 2. Keterpurukan dalam bidang ekonomi disebabkan oleh rendahnya mutu sumber daya manusia olehnya itu penulis mengajak kepada semua pihak untuk lebih memfokuskan pembangunan di bidang pendidikan. 3. Sistem penggajian guru yang masih setengah hati hendaknya diperhatikan oleh pihak pemerintah. Jangan membiarkan guru turun ke jalan melakukan orasi menuntut haknya. DAFTAR PUSTAKA Barber, M., and M. Mourshed. 2007. "How the World's Best Performing Schools Come out on Top." McKinsey &Company, New York, USA Chen, D. 2009. "The Economics of Teacher Supply in Indonesia." Policy Research Working Paper 4975. East Asian and Pacific Region, Human Development Sector Department, World Bank, Washington, DC. Hanushek, E. A. 2007. "Education Quality and Economic Growth." Policy Research Working Paper 4122. World Bank, Washington, DC. Jalal, F., M. Samani.2009. Sertifikasi Guru di Indonesia.S. D. Negara. S. Iskandar.dkk..2004." Pendidikan di Indonesia: Mengelola Transisi ke Desentralisasi” Laporan 29.506, vol 1 dari 3... Mullis, I.V.S., Martin, M.O., and Foy, P. 2008. "TIMSS 2007 International Mathematics Report". Chestnut Hill, MA:IMSS & PIRLS International Study Center, Boston College: Massachusetts. SMERU Research Institute. 2008. "Pelaksanaan Program Sertifikasi Guru 2007: Studi Kasus Jambi, Jawa Barat, dan Provinsi Kalimantan Barat." SMERU:Jakarta, Indonesia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar