Sabtu, 29 November 2014

IMPLEMENTASI KURIKULUM 2013 DALAM PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA

Dalam perkembangannya Bahasa Indonesia merentang perjalanan yang diawali sebagai bahasa pengantar pergaulan, bahasa pergerakan, bahasa negara, bahasa resmi nasional, dan sebagai penghela ilmu pengetahuan dan teknologi. Bersumber dari ikrar pemuda tahun 1928, Pemerintah Republik Indonesia di awal kemerdekaan secara yuridis menyebutkan Bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi negara sebagaimana amanat UUD 1945 Pasal 36. Penguatan tentang posisi dan fungsi Bahasa Indonesia dengan diundangkannya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2009 Pasal 25 – 45. Pasal 29, Ayat 1 secara jelas menyebutkan Bahasa Indonesia wajib digunakan sebagai bahasa pengantar dalam pendidikan nasional. Peran Bahasa Indonesia sebagai penghela ilmu pengetahuan disebutkan pada pasal 35, Ayat 1 bahwa Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam penulisan karya ilmiah dan publikasi karya ilmiah (Undang-Undang RI Nomor 24 Tahun 2009). Dalam dunia pendidikan di negeri tercinta ini, Bahasa Indonesia digunakan untuk mengomunikasikan pembelajaran untuk semua jenis pembelajaran. Pembelajaran bahasa di Indonesia pada umumnya merupakan pembelajaran bahasa kedua, sebagian dari peserta didik memang telah menggunakan Bahasa Indonesia sebagai bahasa pertama (bahasa ibu). Menurut Izzo (dalam Ghazali 2013:126) ada tiga kategori besar yang mempengaruhi pembelajaran bahasa kedua, yaitu: (1) faktor personal (usia, ciri psikologis, sikap, motivasi, dan strategi pembelajaran), (2) faktor situasional (situasi, pendekatan pembelajaran, dan karakteristik guru), dan (3) faktor aspek linguistik ( perbedaan antara bahasa pertama dengan bahasa kedua dalam hal pengucapan, tata bahasa, dan pola wacana). Ketiga faktor ini merupakan acuan bagi guru untuk menentukan model teoretis yang memudahkan untuk diserap oleh peserta didik. Belajar bahasa pada hakikatnya adalah belajar komunikasi. Oleh karena itu, pembelajaran bahasa diarahkan untuk meningkatkan kemampuan peserta didik dalam berkomunikasi, baik lisan maupun tulis. Hal ini relevan dengan Kurikulum 2004 bahwa kompetensi pebelajar bahasa diarahkan ke dalam empat subaspek, yaitu membaca, berbicara, menyimak, dan mendengarkan. Kemampuan yang dikembangkan adalah daya tangkap makna, peran, daya tafsir, menilai, dan mengekspresikan diri dengan berbahasa. Kesemuanya itu dikelompokkan menjadi kebahasaan, pemahaman, dan penggunaan. Sementara itu, dalam Kurikulum 2004 untuk SMA dan MA, disebutkan bahwa tujuan pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia secara umum meliputi: 1. Siswa menghargai dan membanggakan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan (nasional) dan bahasa negara. 2. Siswa memahami bahasa Indonesia dari segi bentuk, makna, dan fungsi, serta menggunakannya dengan tepat dan kreatif untuk bermacam-macam tujuan, keperluan, dan keadaan. 3. Siswa memiliki kemampuan menggunakan bahasa Indonesia untuk meningkatkan kemampuan intelektual, kematangan emosional, dan kematangan sosial. 4. Siswa memiliki disiplin dalam berpikir dan berbahasa (berbicara dan menulis). 5. Siswa mampu menikmati dan memanfaatkan karya sastra untuk mengembangkan kepribadian, memperluas wawasan kehidupan, serta meningkatkan pengetahuan dan kemampuan berbahasa. 6. Siswa menghargai dan membanggakan sastra Indonesia sebagai khazanah budaya dan intelektual manusia Indonesia. Untuk mencapai tujuan tersebut, pembelajaran bahasa harus mengetahui prinsip-prinsip belajar bahasa yang kemudian diwujudkan dalam kegiatan pembelajaran, serta menjadikan aspek-aspek tersebut sebagai petunjuk dalam kegiatan pembelajaran. Peserta didik akan belajar bahasa dengan baik apabila; (1) diperlakukan sebagai individu yang memiliki kebutuhan dan minat, (2) diberi kesempatan berpartisipasi dalam penggunaan bahasa secara komunikatif dalam berbagai macam aktivitas, (3) bila ia secara sengaja memfokuskan pembelajarannya pada bentuk, keterampilan, dan strategi untuk mendukung proses pemerolehan bahasa, (4) ia disebarkan dalam data sosiokultural dan pengalaman langsung dengan budaya menjadi bagian dari bahasa sasaran, (5) jika menyadari akan peran dan hakikat bahasa dan budaya, (6) jika diberi umpan balik yang tepat menyangkut kemajuan mereka, dan (7) jika diberi kesempatan untuk mengatur pembelajaran mereka sendiri (Aminuddin, 1994). Istilah pendekatan dalam pembelajaran bahasa mengacu pada teori-teori tentang hakekat bahasa dan pembelajaran bahasa yang berfungsi sebagai sumber landasan/prinsip pembelajaran bahasa. Teori tentang hakikat bahasa mengemukakan asumsi-asumsi dan tesis-tesis tentang hakikat bahasa, karakteristik bahasa, unsur-unsur bahasa, serta fungsi dan pemakaiannya sebagai media komunikasi dalam suatu masyarakat bahasa. Teori belajar bahasa mengemukakan proses psikologis dalam belajar bahasa sebagaimana dikemukakan dalam psikolinguistik. Pendekatan pembelajaran lebih bersifat aksiomatis dalam definisi bahwa kebenaran teori-teori linguistik dan teori belajar bahasa yang digunakan tidak dipersoalkan lagi. Dari pendekatan ini diturunkan metode pembelajaran bahasa. Misalnya dari pendekatan berdasarkan teori ilmu bahasa struktural yang mengemukakan tesis-tesis linguistik menurut pandangan kaum strukturalis dan pendekatan teori belajar bahasa menganut aliran behaviorisme diturunkan metode pembelajaran bahasa yang disebut Metode Tata Bahasa (Grammar Method). Dalam rumusan Kurikulum 2013, mencakup keseimbangan antara kompetensi sikap, pengetahuan, dan keterampilan. Hal ini merupakan penyempurnaan dari kurikulum sebelumnya yang hanya menekankan pada aspek pengetahuan (kognitif). Berikutnya adalah lintasan yang berbeda untuk proses pembentukan tiap kompetensi. Lalu penekanan pada keterampilan berpikir menuju terbentuknya kreativitas. Kemampuan psikomotorik adalah penunjang keterampilan. Pembelajaran melalui pendekatan scientific (Mengamati -Menanya - Mencoba - Menalar - Mengomunikasikan) proses pembelajaran ini berlaku untuk semua mata pelajaran. Model pembelajaran yang dapat digunakan antara lain adalah discovery learning, project based learning dan problem based learning. Khusus untuk pembelajaran bahasa Indonesia pada Kurikulum 2013 menekankan pada kompetensi berbahasa sebagai alat komunikasi untuk menyampaikan gagasan dan pengetahuan. Oleh karena itu, peserta didik dibiasakan membaca dan memahami teks lalu menyajikan ulang dengan menggunakan bahasa sendiri. Selain itu, peserta didik dibiasakan menyusun teks yang sistematis, logis, dan efektif serta mengekspresikan dirinya dengan bahasa yang meyakinkan secara spontan. Pembelajaran bahasa Indonesia pada Kurikulum 2013 bermuara pada pengembangan kompetensi dalam ranah sikap (KI-1 dan KI-2), pengetahuan (KI-3), dan (KI-4) keterampilan. Pendekatan berbasis teks yang dikembangkan pada kurikulum ini diaplikasikan melalui kegiatan pembelajaran yang mendorong peserta didik untuk mengembangkan pengetahuan (KI-3) dan keterampilan (KI-4) mereka dalam memahami dan menyusun berbagai jenis teks sesuai dengan jenjang. Kompetensi dasar yang terdapat pada KI-1 dan KI-2 dikembangkan melalui integrasi dalam pengembangan kompetensi pengetahuan dan keterampilan. Sebagai contoh, ketika peserta didik mempelajari struktur teks laporan observasi dan mengaplikasikan konsep tersebut melalui penyusunan teks, sikap-sikap yang diinginkan pada KD di KI-2, yaitu disiplin, tanggung jawab, dan kerja keras. Guru harus selalu terus menerus mengembangkan sikap-sikap ini di dalam kegiatan pembelajaran. a. Pembelajaran Berbasis Teks Pembelajaran berbasis teks juga disebut pembelajaran berbasis genre. Teks terkadang disejajarkan dengan wacana, menurut KBBI (1995) wacana berarti 1) ucapan ; perkataan; tutur 2) keseluruhan tutur yang merupakan suatu kesatuan; 3) satuan bahasa terlengkap, realisasinya pada bentuk karangan yang utuh seperti novel, buku, artikel, pidato, khotbah, dan sebagainya. Menurut Wiratno (2010) teks adalah satuan lingual yang dimediakan secara tulis atau lisan dengan tata organisasi tertentu untuk mengungkapkan makna dalam konteks tertentu pula. Dari kedua istilah teks dan wacana dapat dinyatakan bahwa perbedaan keduanya adalah teks mengacu pada bentuk fisik sedangkan wacana mengacu pada tujuan (makna) atau ada yang berbentuk lisan dan ada yang berbentuk tulis. Wiratno (2010) menyebutkan 5 ciri teks, sebagai berikut; (1) teks merupakan satuan lingual, (2) teks mempunyai tata organisasi yang kohesif, (3) teks mengungkapkan makna, (4) teks tercipta pada sebuah konteks, dan (5) teks dapat dimediakan secara tulis dan lisan. Mata pelajaran bahasa Indonesia dalam Kurikulum 2013 menggunakan pendekatan berbasis teks. Pendekatan ini bertujuan agar siswa mampu memproduksi dan menggunakan teks sesuai dengan tujuan dan fungsi sosialnya. Dalam pembelajaran bahasa yang berbasis teks, mata pelajaran Bahasa Indonesia diajarkan bukan sekadar sebagai pengetahuan bahasa, melainkan sebagai teks yang berfungsi untuk menjadi aktualisasi diri penggunanya pada konteks sosial dan akademis. Teks harus dipandang sebagai satuan bahasa yang bermakna secara kontekstual. Menurut Kemdikbud (2013) prinsip pembelajaran bahasa berbasis teks sebagai berikut: (1) bahasa dipandang sebagai teks, bukan semata-mata kumpulan kata-kata atau kaidah-kaidah kebahasaan, (2) penggunaan bahasa merupakan proses pemilihan bentuk-bentuk kebahasaan untuk mengungkapkan makna, (3) bahasa bersifat fungsional, yaitu penggunaan bahasa yang tidak dapat dilepaskan dari konteks karena dalam bentuk bahasa yang digunakan itu tercermin ide, sikap, nilai, dan ideologi penggunanya, dan (4) bahasa merupakan sarana pembentukan kemampuan berpikir manusia. Dalam silabus mata pelajaran Bahasa Indonesia untuk SMP kelas 7 terdapat 5 teks, yaitu teks hasil observasi, teks deskripsi, teks eksposisi, teks eksplanasi, dan teks cerpen. Sedangkan yang diajarkan di kelas 8 terdapat teks cerita moral/fabel, teks biografi, teks prosedur, teks diskusi, dan teks ulasan. Sementara itu di kelas 9 terdapat empat teks, yaitu teks eksemplum, teks tanggapan kritis, teks tantangan, dan teks rekaman percobaan. Uraian teks yang terdapat pada silabus menunjukkan bahwa pembelajaran teks membawa peserta didik sesuai perkembangan mentalnya, menyelesaikan masalah kehidupan nyata dengan berpikir kritis. Adalah kenyataan, masalah kehidupan sehari-hari tak terlepas dari kehadiran teks. Untuk membuat minuman atau masakan, perlu digunakan teks arahan/ prosedur. Untuk melaporkan hasil observasi terhadap lingkungan sekitar, teks laporan perlu diterapkan. Untuk mencari kompromi antarpihak bermasalah, teks negosiasi perlu dibuat. Untuk mengkritik pihak lain pun, teks anekdot perlu dihasilkan. Selain teks sastra non-naratif itu, hadir pula teks cerita naratif dengan fungsi sosial berbeda. Perbedaan fungsi sosial tentu terdapat pada setiap jenis teks, baik genre sastra maupun nonsastra, yaitu genre faktual (teks laporan dan prosedural), dan genre tanggapan (teks transaksional dan ekspositori). Materi pembelajaran bahasa Indonesia membuat muatan Kurikulum 2013 penuh struktur teks. Pembelajaran berbasis teks sesuai Kurikulum 2013 dimulai dari memperkenalkan konteks sosial dari teks yang dipelajari. Kemudian mengeksplorasi ciri-ciri dari konteks budaya umum dari teks yang dipelajari serta mempelajari tujuan dari teks tersebut. Selanjutnya adalah dengan mengamati konteks dan situasi yang digunakan. Misalnya dalam teks eksposisi, siswa harus bisa memahami peran dan hubungan antara orang-orang yang berdialog apakah antar teman, editor dengan pembaca, guru dengan siswa, dan sebagainya. Siswa juga harus memahami media yang digunakan apakah percakapan tatap muka langsung atau percakapan melalui telepon. Kegiatan yang dapat dilakukan di dalam kelas adalah; (a) mempresentasikan konteks bisa menggunakan berbagai media antara lain melalui gambar, benda nyata, field-trip, kunjungan, wawancara kepada narasumber, dan sebagainya, (b) membangun tujuan sosial melalui diskusi, survey, dan yang lainnya, (c) membandingkan dua kebudayaan. berbeda, yaitu kebudayaan kita dengan kebudayaan penutur asli, dan (d) membandingkan model teks dengan teks yang lainnya misalnya membandingkan percakapan antara teman dekat, teman kerja, atau orang asing. Pembelajaran berbasis teks diinklusifkan dengan pengamatan terhadap ciri-ciri teks yang dipelajari. Demikian juga dalam penyusunan teks secara berkelompok dan mandiri diinklusifkan dengan aspek pemahaman terhadap aspek kebahasan, misalnya pelafalan, pembentukan kata, pemilihan kata, pemakaian istilah, pembentukan frasa, penggunaan struktur kalimat, kebenaran isi kalimat, kelogisan kalimat, penggunaan penghubung antarfrasa, antarklausa, antarkalimat, dan antarparagraf, penulisan kalimat, pengembangan paragraf, dan penggunaan ejaan dan tanda baca. b. Pendekatan Saintifik dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia Pendekatan saintifik dalam pembelajaran bahasa Indonesia dilakukan dengan mempelajari berbagai jenis teks sesuai jenjangnya, keterampilan berbahasa yang meliputi; mendengarkan. berbicara, membaca, dan menulis dikembangkan dan diperkuat pencapaian kompetensinya melalui teks yang dipelajari oleh peserta didik. Pendekatan saintifik dalam pembelajaran diwujudkan dalam Rancangan Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), khususnya pada langkah-langkah kegiatan pembelajaran mulai dari kegiatan pendahuluan, kegitan inti dan kegiatan penutup disesuaikan dengan alokasi waktu yang tersedia. Pada kegiatan ini peserta didik akan mempelajari sebuah teks melalui kegiatan mengamati, menanya, mengeksplorasi, mengasosiasi, dan mengomunikasikan berdasarkan tahapan-tahapan pembelajaran bahasa Indonesia berbasis teks. Tahapan-tahapan pembelajaran berbasis teks meliputi membangun konteks, pemodelan, penyusunan teks secara bersama, dan penyusunan teks secara mandiri. Pada tahapan membangun konteks , peserta didik akan melakukan pengamatan baik melalui gambar maupun melalui tayangan yang berkaitan dengan tema tertentu. Kegiatan ini dilakukan dalam rangka membangun konteks atau mengarahkan pemikiran peserta didik terhadap pokok persoalan yang akan dibahas. Kegiatan mengamati dalam rangka membangun konteks dapat dilakukan dengan mendengarkan lagu, mendengarkan pembacaan puisi, cerpen, atau drama. Melalui kegiatan ini peserta didik akan bertanya jawab tentang isi dari kegiatan pengamatan. Tahap selanjutnya adalah tahap pemodelan teks, pada tahapan ini peserta didik akan disajikan teks model dan diarahkan untuk mengajukan pertanyaan yang berkaitan dengan teks tersebut, misalnya tentang fungsi, struktur/ bentuk, dan unsur kebahasaan teks. Pesrta didik akan mengeksplorasi tentang teks baik fungsi teks maupun struktur/bentuk ataupun unsur kebahasaan teks serta membedakan dengan teks-teks yang lain. Pada kegiatan mengasosiasi atau menalar peserta didik diarahkan untuk menyimpulkan fungsi sosial teks, menentukan struktur teks, dan unsur kebahasaan yang membangun keutuhan teks. Dengan demikian, akan mempertajam pemahaman peserta didik tentang struktur dan bentuk teks serta unsur-unsur kebahasaan teks. Selain dari itu, peserta didik juga diarahkan dan dilatih untuk menyusun teks baik secara kelompok maupun secara individu. Berdasarkan hasil pengamatan terhadap teks peserta didik diarahkan untuk mengomunikasikan hasil simpulan, hasil telaah, hasil revisi, dan hasil penyusunan teks dengan lugas dengan penuh percaya diri. Pembelajaran bahasa Indonesia yang berkualitas sangat menentukan keberhasilan pembentukan sikap, pengetahuan, dan keterampilan dalam diri peserta didik. Oleh karena itu, Kurikulum 2013 mengharuskan menggunakan pendekatan saintifik dalam pembelajaran, karena pendekatan saintifik merupakan pendekatan ilmiah yang mengutamakan langkah-langkah dari hal-hal yang spesifik menuju ke arah penarikan simpulan atau langkah-langkah yang dilakukan secara induktif. Langkah-langkah tersebut akan menghindarkan pola pembelajaran secara pasif, yaitu pola yang hanya mendengarkan penjelasan guru, Dengan pendekatan saintifik akan tercipta pembelajaran yang mengharuskan peserta didik lebih aktif, kreatif, dan inovatif. Rangkaian langkah-langkah pendekatan saintifik dipadukan dengan model-model pembelajaran yang relevan berikut. Discovery learning atau model pembelajaran penemuan mengutamakan agar peserta didik dapat membangun pengetahuan sendiri atau menemukan sendiri tanpa harus dijelaskan oleh guru, guru hanya berperan sebagai fasilitator dengan memberikan stimulasi atau memberikan ransangan. Sund (1975) menyebutkan bahwa model discovery learning merupakan proses mental di mana peserta didik mengasimilasi sesuatu konsep atau sesuatu prinsip. Proses mental tersebut dilakukan melalui mengamati, menggolong-golongkan, membuat dugaan, menjelaskan , mengukur, dan membuat simpulan. Gulo (2004:84) menyebut discovery learning sebagai suatu rangkaian kegiatan belajar yang melibatkan secara maksimal seluruh kemampuan siswa untuk mencari dan menyelidiki secara sistematis, kritis, logis, dan analitis sehingga mereka dapat merumuskan sendiri penemuannya dengan penuh percaya diri. Syah (2004:244) menguraikan bahwa dalam penerapan discovery learning di kelas, pendidik melakukan langkah-langkah berupa stimulasi untuk membangkitkan keinginan peserta didik untuk melakukan penyelidikan, langkah selanjutnya memberikan kesempatan peserta didik untuk melakukan identifikasi sebanyak mungkin agenda-agenda masalah yang relevan. Hal ini dilakukan untuk membangun kebiasaan peserta didik untuk menemukan suatu masalah. Menurut Westwood (dalam Sani, 2014:98) pembelajaran dengan metode discovery learning akan efektif jika terjadi hal-hal berikut; 1) proses belajar dilakukan secara terstruktur dengan hati-hati, 2) peserta didik memiliki pengetahuan dan keterampilan awal untuk belajar, dan 3) pendidik memberikan dukungan yang dibutuhkan oleh peserta didik untuk melakukan penyelidikan. Dari beberapa uraian di atas dapat dinyatakan bahwa model pembelajaran discovery learning adalah suatu proses belajar mengajar yang terpusat pada peserta didik, pendidik tidak perlu menjejalkan seluruh informasi kepada peserta didik. Pendidik hanya membimbing suasana belajar peserta didik untuk mencari dan menemukan informasi dari bahan ajar yang dipelajari. Penerapan model pembelajaran discovery learning dalam pembelajaran bahasa Indonesia disesuaikan dengan kompetensi dasar yang akan diajarkan, misalnya KD pengetahuan yang meliputi memahami teks, membedakan teks, mengklaksifikasi teks, mengidentifikasi kekurangan teks, dll. Di kelas 7 misalnya terdapat tema cinta lingkungan, pemberian stimulasi dilakukan dengan memperdengarkan pembacaan puisi “ Tanah Kelahiran” karya Ramadhan K.H. Peserta didik diajak bertanya jawab tentang isi puisi tersebut yang menggambarkan tentang keindahan alam yang terdapat dalam puisi tersebut. Setelah itu, peserta didik diarahkan untuk membaca teks dan mengidentifikasi sebanyak-banyaknya informasi yang ditemukan pada teks yang telah dibaca. Intinya adalah dalam pembelajaran dengan model pembelajaran ini diawali dengan stimulation, yang kemudian dilanjutkan problem statement, dan di akhir kegiatan peserta didik melakukan data collection. Data-data dapat diperoleh dan ditemukan melalui literatur yang ada di perpustakaan maupun melakukan browshing untuk dapat menjelaskan tentang struktur teks hasil observasi. Poblem based learning merupakan model pembelajaran yang didasarkan pada banyaknya permasalahan yang membutuhkan penyelidikan. Pada model pembelajaran ini dimulai dengan bagaimana peserta didik memikirkan penyelesaian suatu tugas yang kemudian diikuti dengan mengomunikasikan hasil pemikirannya. Dalam bahasa Indonesia model pembelajaran ini diartikan sebagai pembelajaran berbasis masalah, jenis pembelajaran ini sangat efektif untuk proses pembelajaran berpikir tingkat tinggi. Menurut Arends (dalam Trianto, 2011:92) PBL merupakan suatu pendekatan pembelajaran karena siswa mengerjakan permasalahan yang autentik dengan maksud untuk menyusun pengetahuan mereka sendiri, mengembangkan inquiri dan keterampilan berpikir tingkat tinggi, mengembangkan kemandirian dan percaya diri. Lebih lanjut Tan (dalam Rusman, 2012:232) mengatakan bahwa pembelajran berdasarkan masalah merupakan penggunaan berbagai macam kecerdasan yang diperlukan untuk melakukan konfrontasi terhadap tantangan dunia nyata, kemampuan untuk menghadapi kompleksitas yang ada. Pendapat lain tentang PBL oleh Duch (dalam Riyanto, 2012:285) adalah suatu model yang dimaksudkan untuk mengembangkan siswa berpikir kritis, analitis, dan untuk menemukan serta menggunakan sumber daya yang sesuai untuk belajar. Nurman dan Schmidt menyatakan bahwa PBL dapat meningkatkan kemampuan peserta didik dalam beberapa hal, yakni; 1) mentransfer konsep pada permasalahan baru, 2) integrasi konsep, 3) ketertarikan belajar, 4) belajar dengan arahan sendiri, dan 5) keterampilan belajar (Sani, 2014: 130). Dari berbagai pendapat pakar tersebut dapat dinyatakan bahwa PBL adalah suatu model pembelajaran yang mengharuskan peserta didik berpikir tingkat tinggi dan berpikir secara sistematis untuk mengembangkan kemampuan peserta didik dalam memecahkan masalah. Dalam pembelajaran bahasa Indonesia di kelas 8 dengan KD memahami teks cerita moral / fabel, ulasan, diskusi, cerita prosedur, dan cerita biografi baik melalui lisan maupun tulisan dan menangkap makna teks hasil observasi, tanggapan deskriptif, eksposisi, eksplanasi, dan cerita pendek baik lisan maupun tulisan dapat menggunakan model pembelajaran berbasis masalah atau PBL. Adapun langkah-langkah yang dilakukan membimbing peserta didik untuk melakukan orientasi terhadap masalah dengan menjelaskan tujuan pembelajaran, memberikan konsep dasar berupa petunjuk atau referensi yang diperlukan dalam pembelajaran serta memberikan motivasi kepada peserta didik untuk dapat memecahkan masalah yang ditemukan. Langkah selanjutnya guru membantu peserta didik untuk mendefinisikan dan mengorganisasikan tugas belajar yang berhubungan dengan masalah. Dengan membentuk kelompok kecil peserta didik diarahkan untuk merancang jawaban sementara yang kemudian dilanjutkan penyelidikan individu dan kelompok untuk mengumpulkan informasi untuk menciptakan dan membangun ide peserta didik dalam memecahkan masalah. Project based learning, dalam bahasa Indonesia diterjemahkan sebagai pembelajaran berbasil proyek. Pembelajaran berbasis proyek pada umumnya terkait dengan pembahasan permasalahan nyata, PjBL dilakukan untuk memperdalam pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh dengan cara membuat karya atau proyek yang terkait dengan materi ajar. Grant (2008) mengatakan bahwa pembelajaran berbasis proyek menawarkan metode pembelajaran yang menarik untuk membuat peserta didik aktif dalam mengonstruksi pengetahuan. Sementara itu, Doppelt (2010) menyatakan bahwa pembelajaran berbasis proyek mempunyai nilai keaslian dalam dunia pendidikan yang mampu membimbing siswa membuat rencana, melaksanakan penelitian, dan menyajikan hasil dari proyek yang dilakukan. Menurut Patton (2012) dalam PjBL, harus melibatkan siswa membuat proyek atau produk yang akan dipamerkan pada masyarakat (Sani, 2014:171). Dari berbagai pendapat pakar tersebut dapat dikatakan bahwa pembelajaran berbasis proyek atau PjBL adalah proses pembelajaran yang memberikan pengalaman kepada peserta didik untuk memperdalam pengetahuan dan keterampilan dengan jalan menghasilkan proyek/produk. Produk yang dihasilkan dalam pembelajaran PjBL dapat berupa media eletronika, media cetak, teknologi tepat guna, karya tulis, dan sebagainya. Dalam pembelajaran bahasa Indonesia PjBL dapat diterapkan dalam pembelajaran menulis teks laporan hasil observasi, membuat dialog, menulis teks eksposisi, dan lain-lain. c. Strategi Penyampaian dengan Media Pembelajaran Strategi penyampaian pembelajaran merupakan komponen variabel metode untuk melaksanakan proses pembelajaran. Strategi ini memiliki dua fungsi, yaitu (1) menyampaikan isi pembelajaran kepada peserta didik, dan (2) menyediakan informasi atau bahan-bahan yang diperlukan peserta didik untuk menampilkan unjuk kerja (seperti latihan tes). Media pembelajaran adalah komponen strategi penyampaian yang dapat dimuat pesan yang akan disampaikan kepada peserta didik baik berupa orang, alat, maupun bahan. Interaksi peserta didik dengan media adalah komponen strategi penyampaian pembelajaran yang mengacu kepada kegiatan belajar. Adapun bentuk belajar mengajar adalah komponen strategi penyampaian pembelajaran yang mengacu pada apakah pembelajaran dalam kelompok besar, kelompok kecil, perseorangan atau mandiri (Degeng, 1989). Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi semakin mendorong upaya-upaya pembaharuan dalam pemanfaatan hasil-hasil teknologi dalam proses pembelajaran. Para guru dituntut agar mampu menggunakan alat-alat yang dapat disediakan oleh sekolah, dan tidak tertutup kemungkinan bahwa alat-alat tersebut sesuai dengan perkembangan dan tuntutan zaman. Guru sekurang-kurangnya dapat menggunakan alat yang murah dan bersahaja tetapi merupakan keharusan dalam upaya mencapai tujuan pembelajaran yang diharapkan. Di samping mampu menggunakan alat-alat yang tersedia, guru juga dituntut untuk dapat mengembangkan alat-alat yang tersedia, guru juga dituntut untuk dapat mengembangkan keterampilan membuat media pengajaran yang akan digunakannya apabila media tersebut belum tersedia. Hamalik (1994) mengemukakan bahwa guru harus memiliki pengetahuan yang cukup tentang media pembelajaran yang meliputi; 1) media sebagai alat komunikasi guna lebih mengefektifkan proses pembelajaran, 2) fungsi media dalam rangka mencapai tujuan pendidikan, 3) seluk-beluk proses belajar, 4) hubungan antara metode pembelajaran dan media pendidikan, 5) nilai atau manfaat media pendidikan dalam pembelajaran, 6) pemilihan dan penggunaan media pendidikan, 7) berbagai jenis alat dan teknik media pendidikan, 8) media pendidikan dalam setiap mata pelajaran, dan 9) usaha inovasi dalam media pendidikan. (Arsyad, 2007:2) Dengan demikian, dapat dinyatakan bahwa media adalah bagian yang tidak terpisahkan dari proses pembelajaran demi tercapainya tujuan pendidikan pada umumnya dan tujuan pembelajaran di sekolah pada khususnya. Bentuk interaksi antara pembelajaran dengan media merupakan komponen penting yang kedua untuk mendeskripsikan strategi penyampaian. Komponen ini penting karena strategi penyampaian tidaklah lengkap tanpa memberi gambaran tentang pengaruh apa yang dapat ditimbulkan oleh suatu media pada kegiatan belajar siswa. Oleh sebab itu, komponen ini lebih menaruh perhatian pada kajian mengenai kegiatan belajar apa yang dilakukan oleh siswa dan bagaimana peranan media untuk merangsang kegiatan pembelajaran. Dalam suatu proses pembelajaran, dua unsur yang sangat penting adalah metode/model pembelajaran dan media pembelajaran. Kedua aspek ini saling berkaitan. Pemilihan salah satu metode/model pembelajaran tertentu akan mempengaruhi jenis media pembelajaran yang sesuai, meskipun masih ada berbagai aspek lain yang harus diperhatikan dalam memilih media, antara lain tujuan pembelajaran, jenis tugas dan respons yang diharapkan siswa kuasai setelah pembelajaran berlangsung, dan konteks pembelajaran termasuk karakteristik siswa. Meskipun demikian, dapat dikatakan bahwa salah satu fungsi utama media pembelajaran adalah sebagai alat bantu yang turut mempengaruhi iklim, kondisi, dan lingkungan belajar yang ditata dan diciptakan oleh guru. Secara umum, manfaat media dalam proses pembelajaran adalah memperlancar interaksi antara guru dengan siswa sehingga pembelajaran akan lebih efektif dan efisien. Manfaat media pembelajaran menurut Kemp dan Dayton (1985), mengidentifikasi beberapa manfaat media dalam pembelajaran yaitu; 1) penyampaian materi pelajaran dapat diseragamkan, 2) proses pembelajaran menjadi lebih jelas dan menarik. 3) proses pembelajaran menjadi lebih interaktif, 4) efisiensi dalam waktu dan tenaga, 4) meningkatkan kualitas hasil belajar siswa, 5) media memungkinkan proses belajar dapat dilakukan di mana saja dan kapan saja, 6) media dapat menumbuhkan sikap positif siswa terhadap materi dan proses belajar, dan 7) merubah peran guru ke arah yang lebih positif dan produktif (Arsyad, 2007: 17) Selain beberapa manfaat media seperti yang dikemukakan oleh Kemp dan Dayton tersebut, tentu saja kita masih dapat menemukan banyak manfaat praktis yang lain. Manfaat praktis media pembelajaran di dalam proses belajar mengajar. Arsyad (2007: 27) mengemukakan beberapa manfaat media pembelajaran sebagai berikut; 1) media pembelajaran dapat memperjelas penyajian pesan dan informasi sehingga dapat memperlancar peningkatan proses dan hasil belajar, 2) media pembelajaran dapat meningkatkan dan mengarahkan perhatian anak sehingga dapat menimbulkan motivasi belajar, interaksi langsung antara siswa dan lingkungannya, dan kemungkinan siswa untuk belajar sendiri-sendiri sesuai dengan kemampuan dan minatnya, 3) media pembelajaran dapat mengatasi keterbatasan indera, ruang dan waktu, dan 4) media pembelajaran dapat memberikan kesamaan pengalaman kepada siswa tentang peristiwa-peristiwa di lingkungan mereka, serta memungkinkan terjadinya interaksi langsung dengan guru, masyarakat, dan lingkungannya. Beberapa penyebab orang memilih media antara lain adalah; a) bermaksud mendemosntrasikannya sama halnya pada kuliah tentang media, b) merasa sudah akrab dengan media tersebut, c) ingin memberi gambaran atau penjelasan yang lebih kongkrit, dan d) merasa bahwa media dapat berbuat lebih dari pada yang bisa dilakukannya. Jadi dasar pertimbangan untuk memilih media sangatlah sederhana, yaitu memenuhi kebutuhan atau mencapai tujuan yang diinginkan atau tidak. Mc. Connell (1974) mengatakan bila media itu sesuai pakailah “If The Medium Fits, Use It!”(Sadiman, 2007:84). Dari segi teori belajar, berbagai kondisi dan prinsip-prinsip psikologi yang perlu mendapat pertimbangan dalam pemilihan dan penggunaan media adalah; motivasi, perbedaan individual, tujuan pembelajaran, organisasi isi, persiapan sebelum belajar, emosi, partisipasi umpan balik, penguatan (reinforcement), latihan, dan pengulangan, dan penerapan (Arsyad, 2007:74). d. Lembar Kegiatan Peserta Didik dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia Departemen Pendidikan Nasional (2008:12) menjelaskan bahwa lembar kegiatan siswa adalah lembaran-lembaran yang berisi tugas yang harus dikerjakan oleh peserta didik. Perangkat ini menjadi pendukung dalam pencapaian kompetensi yang diharapkan. Lembar ini diperlukan guna mengarahkan proses belajar siswa karena pembelajaran yang berorientasi kepada peserta didik. Dalam serangkaian langkah aktivitas siswa harus berkenaan dengan tugas-tugas dan pembentukan konsep bahasa Indonesia. Dengan adanya lembar kerja , maka partisipasi aktif peserta didik sangat diharapkan, sehingga dapat memberikan kesempatan lebih luas dalam proses konstruksi pengetahuan dalam dirinya. Trianto (2007:73) menguraikan bahwa lembar kerja kegiatan siswa adalah panduan siswa yang digunakan untuk melakukan kegiatan penyelidikan atau pemecahan masalah, lembar kegiatan ini dapat berupa panduan untuk latihan pengembangan aspek kognitif maupun panduan untuk latihan pengembangan semua aspek pembelajaran dalam bentuk panduan eksperimen ataupun demonstrasi. Untuk menyusun perangkat pembelajaran berupa lembar kegiatan siswa, Depdiknas (2008:23) menguraikan rambu-rambu bahwa LKS/LKPD akan memuat paling tidak : judul, kompetensi dasar yang akan dicapai, waktu penyelesaian, peralatan/bahan yang diperlukan untuk menyelesaikan tugas, informasi singkat, langkah kerja, tugas yang harus dilakukan, dan laporan yang harus dikerjakan. Langkah-langkah persiapan lembar kerja siswa dijelaskan dalam Depdiknas (2008:23-24) sebagai berikut: 1. Analisis kurikulum, analisis ini dilakukan dengan memperhatikan materi pokok, pengalaman belajar siswa, dan kompetensi yang harus dicapai oleh siswa. 2. Menyusun peta kebutuhan lembar kegiatan siswa. Peta ini berguna untuk mengetahui jumlah kebutuhan dan urutan LKS/LKPD. 3. Menentukan judul-judul lembar kegiatan siswa. Judul ini harus sesuai dengan KD, materi pokok, dan pengalaman belajar. 4. Penulisan lembar kegiatan peserta didik/LKPD langkah-langkahnya sebagai berikut; (1) perumusan KD yang harus dikuasai, (2) menentukan alat penilaian, (3) penyusunan materi dari berbagai sumber, dan memperhatikan struktur, yang meliputi; (a) judul, (b) petunjuk belajar, (c)kompetensi yang akan dicapai, (d) informasi pendukung, (e) tugas dan langkah-langkah kerja, dan penilaian.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar