Minggu, 20 Oktober 2013

SOSIOLINGUISTIK DAN PENGAJARAN BAHASA DALAM MASYARAKAT MULTIBAHASA

SOSIOLINGUISTIK DAN PENGAJARAN BAHASA DALAM MASYARAKAT MULTIBAHASA I. PENDAHULUAN Bahasa adalah salah satu produk budaya manusia. Sebagai sebuah produk budaya, bahasa dituntut untuk selalu dinamis sesuai dengan perkembangan kebudayaan yang ada pada masyarakat penuturnya. Dengan demikian, sebuah bahasa akan tetap adaptif terhadap kebutuhan komunikasi masyarakat pendukungnya. Selain mengemban fungsi sebagai alat komunikasi, bahasa juga merupakan sarana ekspresi dalam menuangkan gagasan-gagasan dan konsep-konsep serta sarana transformasi atas nilai-nilai kebudayaan itu sendiri. Hampir semua komponen produk kebudayaan seperti yang dinyatakan Taylor dalam Ohoiwutun (2002: 77) bahwa pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, adat, serta kemampuan dan kebiasaan lainnya membutuhkan sebuah bahasa sebagai sarana transformasinya. Upaya pemeliharaan martabat, fungsi dan peran sebuah bahasa tidak terlepas dari kebijakan bahasa (language policy) dan perencanaan bahasa (language planning) baik pada tingkat pusat maupun di daerah. Kesemua upaya tersebut bermuara kepada pemakaian bahasa (language use). Masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang serbamulti: multibahasa, multiagama dan multietnis dengan menggunakan satu bahasa nasional yaitu bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia telah merekatkan semua kalangan dan menerima semua perbedaan kebahasaan dan kebudayaan daerah sebagai kekayaan kebudayaan nasional. Jaminan negara terhadap bahasa seperti telah terjabarkan dalam Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, Pasal 32 Ayat (1) dan (2), yang mendudukkan posisi bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional dan bahasa resmi negara. Dengan status demikian, nasionalisasi bahasa Indonesia semakin kukuh sebagai lambang jatidiri bangsa. Krauss (1992) dalam Mahsun (2004) mengelompokkan bahasa ke dalam tiga kelompok berdasarkan gejala umum yang terjadi pada bahasa-bahasa di dunia ,seperti jumlah penutur, prestise sosiokultural, dan dukungan pemerintah terhadap pemakaiannya, yakni: a). kelompok bahasa yang tidak lagi dikuasai dan digunakan oleh anak-anak dari penutur suatu bahasa; b). kelompok bahasa yang dalam satu/dua generasi tidak lagi dikuasai dan dipelajari oleh ketururunan penutur suatu bahasa; dan c). kelompok bahasa yang termasuk kategori aman yang masing-masing disebut moribund, endangered dan safe. Padahal di lain pihak, bahasa daerah memegang peran penting bagi perbendaharaan kosa kata bahasa Indonesia. Upaya untuk mengangkat budaya (baca: bahasa) daerah ke dalam kosa kata bahasa nasional diharapkan sebagai langkah nyata pemeliharaan bahasa-bahasa daerah, di samping itu dari sanalah kita berpijak bahwa keberagaman tercipta sebagai kekayaan bukan sebaliknya. Salah satu keputusan yang bersifat politis yang dihasilkan Seminar Politik Bahasa tahun 2000 adalah ditentukannya fungsi bahasa daerah sebagai: (a) lambang kebanggaan daerah, (b) lambang identitas daerah, (c) alat perhubungan di dalam keluarga dan masyarakat daerah, (d) sarana pendukung budaya daerah dan bahasa Indonesia, (e) pendukung sastra daerah dan sastra Indonesia. Selain itu, dalam hubungannya dengan bahasa Indonesia, bahasa daerah berfungsi sebagai: (a) pendukung bahasa nasional, (b) bahasa pengantar di sekolah dasar di daerah tertentu pada tingkat permulaan untuk memperlancar pengajaran bahasa Indonesia dan mata pelajaran lain, dan (c) sumber kebahasaan untuk memperkaya bahasa Indonesia, serta (d) dalam keadaan tertentu dapat berfungsi sebagai pelengkap bahasa Inonesia di dalam penyelenggaraan pemerintahan pada tingkat daerah (Alwi dan Dendy Soegono (2000) dalam Mahsun (2004)). Menyikapi kondisi kebahasaan yang terjadi di Indonesia, Sugono (2008:1) menyatakan bahwa kebijakan pemerintah dalam bidang bahasa meliputi perencanaan bahasa di Indonesia yang mencakup bahasa Indonesia, bahasa daerah dan penggunaan bahasa asing. Ketiga komponen bahasa yang ada di Indonesia membutuhkan beberapa kebijakan yang meliputi penelitian, pengembangan, pembinaan dan pelayanan di bidang kebahasaan dan kesastraan. Sedangkan kebijakan penggunaan bahasa asing meliputi pemanfaatan bahasa asing sebagai sarana pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta sebagai sumber pengayaan bahasa Indonesia. Sebagai landasan kebijakan tersebut adalah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Pasal 32 yang mengamanatkan bahwa negara menghormati dan memelihara bahasa daerah sebagai bagian dari kebudayaan nasional. Kemudian pada Pasal 36 Bab XV menjelaskan tentang tugas bahasa daerah sebagai: 1) lambang kebanggaan daerah, 2) lambang identitas daerah, 3) sarana perhubungan di dalam keluarga dan masyarakat daerah, dan 4) sarana pengembangan serta pendukung kebudayaan daerah (Chaer dan Agustina, 1995:297). Hal ini selanjutnya dipertegas dalam Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Otonomi Daerah dan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 40 tahun 2007 tentang Pedoman bagi Kepala Daerah dalam Pelestarian dan Pengembangan Bahasa Negara dan Bahasa Daerah. Di samping itu, dalam pelaksanaan tanggung jawab terhadap pemeliharaan bahasa-bahasa daerah dapat berkoordinasi dengan instansi teknis pusat yang berada di ibukota provinsi. Sebagai tindak lanjut atas pemenuhan tuntutan tersebut, upaya pemeliharaan bahasa daerah itu mencakup upaya pengembangan, pembinaan, revitalisasi, dan pendokumentasian menuju pelestarian bahasa dalam memasuki tatanan baru kehidupan masyarakat multikultural sebagai bagian dari masyarakat internasional yang heterogen. Dengan demikian, upaya pemeliharaan bahasa daerah selain tugas dan kewajiban negara, juga menjadi tanggung jawab pemerintah daerah sebagai kepanjangan tangan pemerintah pusat di daerah. Pemeliharaan bahasa daerah mencakup a) penelitian berbagai aspek kebahasaan untuk keperluan pengembangan, pembinaan, dan pendokumentasian; b) pengembangan bahasa daerah meliputi pemekaran kosakata dan pemutakhiran kodifikasi yang berupa penyempurnaan ejaan, kamus, dan tata bahasa sehingga bahasa daerah itu tetap memenuhi tuntutan keperluan masyarakat pendukungnya; dan c) pembinaan bahasa daerah meliputi upaya pemertahanan penggunaan bahasa daerah oleh masyarakat pendukungnya dan penerusan penggunaannya kepada generasi pelapis melalui proses pembelajaran bahasa daerah di lingkungan keluarga ataupun di sekolah. Di samping itu, pemeliharaan bahasa daerah meliputi upaya perlindungan bahasa daerah agar tidak punah dan merevitalisasi fungsi dan kedudukan bahasa, termasuk aksara dan sastra daerah dalam ranah-ranah penggunaannya oleh masyarakat penuturnya (Sugono 2008:2). Kehadiran sosiolinguistik sebagai salah satu bagian dari ilmu linguistik mengkaji hubungan bahasa dan masyarakat, yang nengaitkan dua bidang yang dapat dikaji secara terpisah, yaitu struktur formal bahasa oleh linguistik dan struktur masyarakat oleh sosiologi (Wardhaugh 1984: 4; Holmes 1993: 1; Hudson 1996: 2). Istilah sosiolinguistik itu sendiri baru muncul pada tahun 1952 dalam Kaya Haver C Currie (dalam Dittmar 1976: 27) yang menyatakan perlu adanya kajian mengenai hubungan antara perilaku ujaran dengan status sosial. Disiplin ini mulai berkembang pada akhir tahun 60-an yang diujungtombaki oleh Committee on Sociolinguistics of the Social Science Research Council (1964) dan Research Committee on Sociolinguistics of the International Sociology Association (1967). Jurnal sosiolinguistik baru terbit pada awal tahun 70-an, yakni Language in Society (1972) dan International Journal of Sociology of Language (1974). Dari kenyataan itu dapat dimengerti bahwa sosiolinguistik merupakan bidang yang relatif baru. Pemilihan bahasa dalam masyarakat multibahasa merupakan gejala yang menarik untuk dikaji dari perspektif sosiolingistik. Bahkan Fasold (1984: 180) mengemukakan bahwa sosiolionguistik dapat menjadi bidang studi karena adanya pemilihan bahasa. Fasold memberikan ilustrasi dengan istilah societal multilingualism yang mengacu pada kenyataan adanya banyak bahasa dalam masyarakat. Tidaklah ada bahasan tentang diglosia apabila tidak ada variasi tinggi dan rendah. Pada kenyataannya setiap bab dari buku sosiolinguistik karya Fasold (1984) memusatkan pada paparan tentang kemungkinan adanya pemilihan bahasa yang dilakukan masyarakat terhadap penggunaan variasi bahasa. Statistik sekalipun menurut Fasold tidak akan diperlukan dalam sosiolinguistik apabila tidak ada variasi penggunaan bahasa dan pemilihan di antara variasi-variasi tersebut. II. PEMBAHASAN A. Sosiolinguistik sebagai Disiplin Ilmu Linguistik Sosiolinguistik didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari ciri dan pelbagai variasi bahasa, serta hubungan di antara para bahasawan dengan cirri fungsi variasi itu di dalam suatu masyarakat bahasa (Kridalaksana,1978:94). Pengkajian bahasa dilakukan dengan dimensi kemasyarakatan. Sosiolinguistik adalah kajian tentang ciri khas variasi bahasa, fungsi-fungsi variasi bahasa, dan pemakai bahasa karena ketiga unsur ini selalu berinteraksi, berubah, dan saling mengubah satu sama lain dalam satu masyarakat tutur(Fishman, 1972:4). Sosiolinguistik merupakan cabang ilmu linguistik yang bersifat interdisipliner dengan ilmu sosiologi, dengan objek penelitian hubungan antara bahasa dengan faktor-faktor sosial di dalam masyarakat tutur. Sosiolinguistik merupakan kajian tentang bahasa yang dikaitkan dengan kondisi kemasyarakatan. Objek kajian sosiolinguitik meliputi; identitas sosial dari penutur, identitas sosial dari pendengar yang terlibat dalam proses komunikasi, lingkungan sosial tempat peristiwa tutur terjadi, analisis sinkronik dan diakronik dari dialek-dialek social, penilaian social yang berbeda oleh penutur akan perilaku bentuk-bentuk ujaran, tingkat variasi dan ragam linguistik , dan penerapan praktis dari penelitian sosiolinguistik. Pengetahuan sosiolinguistik dimanfaatkan dalam berkomunikasi atau berinteraksi. Sosiolinguistik memberikan pedoman untuk berkomunikasi dengan menunjukkan bahasa, ragam bahasa atau gaya bahasa apa yang harus kita gunakan jika berbicara dengan orang tertentu. Sosiolinguistik juga digunakan dalam pengajaran bahasa di sekolah. Secara umum sosiolinguistik membahas hubungan bahasa dengan penutur bahasa sebagai anggota masyarakat. Hal ini mengaitkan fungsi bahasa secara umum yaitu sebagai alat komunikasi. Sosiolingistik lazim didefenisikan sebagai ilmu yang mempelajari ciri dan pelbagai variasi bahasa serta hubungan diantara para bahasawan dengan ciri fungsi variasi bahasa itu di dalam suatu masyarakat bahasa (Kridalaksana, 1978:94), Fishman (1972) dalam Chaer dan Agustina (2004:3) mengemukakan bahwa sosiolinguistik adalah kajian tentang ciri khas variasi bahasa, fungsi variasi bahasa, dan pengunaan bahasa karena ketiga unsur ini berinteraksi dalam dan saling mengubah satu sama lain dalam satu masyarakat tutur, identitas sosial dari penutur, lingkungan sosial tempat peristiwa tutur terjadi serta tingkatan variasi dan ragam linguistik. Berdasarkan teori Platt dalam (Siregar dkk 1998:54) berpendapat bahwa dimensi identitas sosial merupakan faktor yang mempengaruhi penggunaan bahasa di dalam masyarakat yang multilingual, dimensi ini mencakup kesukaran, umur, jenis kelamin, tingkat dan sarana pendidikan dan latar sosial ekonomi. Sedangkan Nababan (1994:2) mengatakan bahwa pengkajian-pengkajian bahasa dengan dimensi kemasyarakatan disebut sosiolinguistik. Sosiolinguistik memfokuskan penelitian pada variasi ujaran dan mengkajinya dalam suatu konteks sosial. Sosiolinguistik meneliti korelasi antara faktor- faktor sosial itu dengan variasi bahasa. Berdasarkan pengertian menurut para ahli tersebut dapat disimpulkan bahwa sosiolinguistik adalah cabang ilmu linguistik yang erat kaitannya dengan sosiologi, hubungan antara bahasa dengan faktor- faktor sosial di dalam suatu masyarakat tutur serta mengkaji tentang ragam dan variasi bahasa. Selanjutnya ada tujuh dimensi yang merupakan penelitian sosiolinguistik yaitu: (1) identitas sosial dari penutur, (2) identitas sosial dari pendengar yang terlibat dalam proses komunikasi, (3) lingkungan sosial tempat peristiwa tutur terjadi (4) analisis sinkronik dan diakronik dari dialek-dialek sosial, (5) penilaian sosial yang berbeda oleh penutur akan perilaku bentuk-bentuk ujaran, (6) tingkatan variasi dan ragam linguistik, (7) penerapan praktis dari penelitian sosiolinguistik. (Chaer, 2004:5). Identitas sosial dari penutur dapat diketahui dari pertanyaan apa dan siapa penutur tersebut, dan bagaimana hubungannya dengan lawan tuturnya. Maka, identitas penutur dapat berupa anggota keluarga. Identitas penutur itu dapat mempengaruhi pilih kode dalam bertutur. Lingkungan sosial tempat peristiwa tutur terjadi dapat berupa ruang keluarg di dalam sebuah rumah tangga, di perpustakaan, di perkuliahan, di pinggir jalan hingga di lingkungan para waria. Tempat peristiwa tutur terjadi dapat pula mempengaruhi pilihan kode dan gaya dalam bertutur. Misalnya, di ruang perpustakaan tentunya kita harus berbicara dengan suara yang tidak keras, sedangkan dilingkungan para waria berbicara dalam mengunakan bahasa dalam kelompok tertentu dengan bahasa yang sering mereka gunakan, seperti ragam bahasa gaul. Tingkatan variasi dan ragam linguistik, bahwa sehubungan dengan heterogennya anggota suatu masyarakat tutur, adanya berbagai fungsi sosial dan politik bahasa, serta adanya tingkatan kesempurnaan kode, maka alat komunikasi, manusia yang disebut bahasa itu menjadi sangat beragam yang memiliki fungsi sosialnya masing- masing. Bahasa adalah suatu sistem lambang berupa bunyi, bersifat arbitrer, digunakan oleh suatu masyarakat tutur untuk bekerjasama, berkomunikasi, dan mengindentifikasi diri (Chaer, 2004:1). Hal ini memberi gambaran bahwa bahasa adalah berupa bunyi yang digunakan oleh rnasyarakat untuk berkornunikasi. Keraf (1991:1) mengatakan bahwa bahasa mencakup dua bidang, yaitu bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap berupa arus bunyi, yang mempunyai makna. Menerangkan bahwa bahasa sebagai alat komunikasi antara anggota masyarakat terdiri atas dua bagian utama yaitu bentuk (arus ujaran) dan makna (isi). Sapir (1921) dalam Sibarani (2004:36) mengatakan bahwa bahasa adalah metode atau alat penyampaian ide, perasaan, dan keinginan yang sungguh manusiawi dan noninstingtif dengan mempergunakan sistem simbol- simbol yang dihasilkan dengan sengaja dan suka rela. Sedangkan menurut Sibarani (2004:37) Bahasa adalah bahasa sebagai system tanda atau sistem lambang, sebagai alat komunikasi, dan digunakan oleh kelompok manusia atau masyarakat. Menurut pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa bahasa merupakan bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap berupa bentuk dan makna, sistem tanda atau system lambang, sebagai alat komunikasi, dan digunakan oleh kelompok manusia atau masyarakat untuk mengindenfikasi diri dalam makna yang berkaitan dengan penggunaan bahasa yang terdapat dalam kata yang diucapkan. Indonesia adalah Negara yang wilayahnya sangat luas dengan penduduk yang terdiri dari berbagai suku bangsa, maka pengunaan bahasa Indonesia juga beragam. Apabila beberapa orang berbicara dalam bahasa yang tidak dapat dipahami, pertama yang terdengar adalah berbagai bunyi dan berselang- seling dan rumit sekali. Ketika ingin semakin akrab dengan bahasa itu bunyi yang berselang- seling tadi berubah menjadi bunyi yang dapat dibedakan. Tiap bahasa memiliki aturan-aturan sendiri yang menguasai bunyi- bunyi dan urutan- urutannya, kata dan bentukan- bentuknya, Kalimat dan susunannya. Indonesia adalah Negara yang multilingual. Selain bahasa Indonesia yang digunakan secara nasional, terdapat pula ratusan bahasa daerah , besar maupun kecil, yang digunakan oleh para anggota masyarakat bahasa daerah itu untuk keperluan yang bersifat kedaerahan, tetapi di samping itu banyak pula yang hanya menguasai satu bahasa, namun ada pula yang menguasai dwi bahasa (bilingual) atau lebih dari dua bahasa (multi lingual). B. Peran sosiolinguistik dalam pengajaran bahasa dalam masyarakat multilingual Dalam pengajaran bahasa di sekolah, sosiolinguistik mempunyai peran yang besar. Kajian bahasa secara internal akan menghasilkan perian-perian bahasa secara objektif deskriptif, dalam wujud berbentuk sebuah buku tata bahasa. Kalau kajian secara internal itu dilakukan secara deskriptif, dia akan menghasilkan sebuah tata bahasa deskriptif. Kalau kajian itu dilakukan secara normatif, akan menghasilkan buku tata bahasa normatif. Kedua buku tata bahasa ini mempunyai hasil perian yang berbeda, lalu kalau digunakan dalam penggunaan bahasa, juga akan mempunyai persoalan yang berbeda. Kalau dalam pengajaran digunakan buku tata bahasa deskriptif, maka kesulitannya adalah bahwa ragam bahasa yang harus diajarkan adalah ragam bahasa baku, padahal dalam buku tersebut terekam juga hasil perian ragam nonbaku. Yang tidak dapat dinafikan ialah bahawa pengajaran dan pemelajaran bahasa di sekolah banyak memberikan penekanan terhadap sistem bahasa seperti sistem ejaan, sebutan, peristilahan, kosa kata umum, morfologi, dan sintaksis. Yang paling banyak disentuh ialah aspek morfologi dan sintaksis. Keadaan ini menyebabkan pemelajaran bahasa kadangkala menjadi kaku dan membosankan, malah menimbulkan kerisauan kerana kononnya bahasa hanya terdiri daripada rumus dan hukum bahasa, dan kesalahan dalam menggunakan sistem bahasa yang betul semasa berada di dalam kelas akan hanya merumitkan keadaan lagi. Guru yang terlatih dari segi pedagogi dituntut menggunakan pelbagai kaedah dan teknik untuk menyampaikan maklumat dan fakta-fakta sistem bahasa dengan baik dan terkini, manakala pelajar seolah-olah dibebankan dengan rumus dan aturan yang memenatkan fikiran, apatah lagi jika diajarkan secara didaktik pula. Jika demikian keadaannya, bagaimanakah fungsi dan matlamat bahasa yang sebenarnya dapat direalisasikan? Bukankah salah satu kepentingan menguasai bahasa adalah untuk membolehkan penuturnya berinteraksi serta berkomunikasi dengan baik dan berkesan dalam masyarakat. Dalam pengajaran tatabahasa hendaklah dihubungkan dengan aspek-aspek fungsionalnya bagi anak didik dapat mengukuhkan keterampilan berbahasa termasuk dari segi pragmatikalnya. Fungsi bahasa sebagai alat komunikasi sosial merupakan item terpenting dalam membicarakan hal ini. Tidak mungkin dapat dipisahkan antara bahasa dengan masyarakat sekaligus menegaskan bahawa masyarakatlah yang membina dan mengembangkan bahasa dan bahasalah yang membentuk peradaban yang tinggi dalam masyarakat. Oleh karena itu, guru disarankan agar dapat menggabungkan kemahiran dan teori linguistik yang bersesuaian dalam pengajaran untuk memastikan anak didik dapat menguasai bahasa yang baik melalui aktivitas mendengar, bertutur, membaca, dan menulis. Oleh sebab sesuatu bahasa itu menjadi milik masyarakat, pertimbangan sosial sewajarnya tidak dibatasi oleh aliran linguistik generatif yang memberikan penekanan terhadap “kebebasan sintaksis” (the autonomy of syntax), yaitu penelitian terhadap satu unsur bahasa yang harus dilakukan secara linguistik semata-mata, yakni tanpa memberikan pertimbangan terhadap aspek-aspek lain, misalnya hubungan bahasa dengan masyarakat. Pengajaran dan pembelajaran bahasa di sekolah yang banyak mengarah kepada sistem bahasa menyebabkan kemahiran dalam penggunaan bahasa begitu terbatas dan akhirnya menghasilkan anak didik yang tidak memiliki keterampilan menggunakan bahasa dalam interaksi sosialnya. Yang tidak dapat dinafikan ialah bahwa ilmu berkenaan sistem bahasa amat perlu dititikberatkan, namun keadaan ini seharusnya diimbangi oleh upaya untuk menguasai bahasa dari pelbagai segi. S. Dik dalam Functional Grammar (1978 : 4-5) pernah membuat suatu gagasan yang menarik tentang skop bahasa yang terdiri dari tujuan formalisme dan tujuan fungsionalisme. jika diteliti dari segi fungsionalnya ialah alat untuk interaksi sosial, berkomunikasi, wahana kebolehan dan kecakapan mengendalikan interaksi sosial, dapat disimpulkan pemerolehan bahasa banyak dipengaruhi oleh lingkungan sosial, dan penelitian tentang kecakapan berkomunikasi sangat penting dilakukan. Sebagai fenomena sosial, bahasa dilihat sebagai wadah penyalur fikiran dan perasaan yang tidak dapat diuraikan hanya melalui penelitian terhadap aspek kegramatikalan. Dell Hymes dalam Foundations in Sociolinguistics : An Ethnograpic Approach (1974 : 206) menegaskan bahawa teori bahasa memerlukan penelitian terhadap pertuturan, pemerhatian terhadap persoalan fungsi, dan bahasa tidak terpisah daripada sistem-sistem sosial dan budaya lain yang beroperasi dalam sesuatu masyarakat. Sebenarnya, telah banyak yang diperkatakan oleh ahli-ahli bahasa tentang hubungan yang erat dan padu antara bahasa dengan masyarakat. Hubungan ini dalam kajian bahasa atau linguistik dikenal sebagai sosiolinguistik. Sosiolinguistik ialah bidang yang mengkaji aspek linguistik yang melihat aspek bahasa, struktur dan aplikasi bahasa yang ada hubungan dengan fungsi sosial, kebudayaan dan penggunaannya dalam sesuatu masyarakat yang tertentu. Menurut Arbak Othman dalam Permulaan Ilmu Linguistik (1983 : 155 –156), sosiolinguistik melihat hubungan bahasa dengan masyarakat ataupun bahasa sebagai alat komunikasi manusia. Hudson (1980 : 1) dalam Sociolinguistics menyatakan bahwa sosiolinguistik ialah kajian bahasa yang berhubung kait dengan masyarakat yang mengaitkan variasi bahasa dengan faktor sosial atau bahasa sebagai refleksi penuturnya. Keadaan ini berupaya menjalinkan pertalian yang erat antara bunyi bahasa dengan masyarakat bahasa. Dalam pengajaran dan pembelajaran bahasa, pengetahuan tentang disiplin sosiolinguistik amat perlu untuk guru bagi melahirkan pelajar yang berupaya memanipulasi kemahiran yang dipelajari dan mewujudkan interaksi sosial yang berkesan. Guru perlu menyedari bahawa mengajarkan bahasa bukan sekadar mengajarkan bahasa yang kaku dan statik sifatnya dalam erti kata bebas daripada faktor-faktor sosial yang melingkarinya. Menurut J. B. Pride dalam Sociolinguistics Aspects of Language Learning and Teaching (1979 : ix), sosiolinguistik ialah “…nama yang sering diberikan terhadap kajian tentang siapa yang berkata (atau menulis) kepada siapa, bila, di mana, bagaimana, dan mengapa”. Guru seharusnya memahami bahawa mengajarkan bahasa merupakan proses mendidik pelajar supaya mempunyai kecekapan berkomunikasi seperti yang diharapkan oleh masyarakatnya sebagai wadah meneruskan kehidupan peribadinya, di samping menyumbang kepada penakatan budaya dan sosial masyarakat dan komuniti bahasanya. Dalam pengajaran dan pemelajaran bahasa secara formal, guru dapat mengukuhkan pemahaman dan pengetahuan pelajar berkenaan dengan beberapa aspek penelitian sosiolinguistik melalui aktivitas lisan, bacaan, dan tulisan. Misalnya, sewaktu mengadakan aktivitias lisan, guru dapat memberikan pendedahan yang meluas kepada pelajar tentang sistem panggilan dalam bahasa Melayu. Penggunaan kata ganti nama diri (personal pronouns) yang tepat amat penting untuk pelajar bagi mempersiapkan mereka dengan pengaruh sosioal budaya yang ada pada masa sekarang kurang mementingkan aspek kesantunan berbahasa. Pengajaran bahasa Indonesia dalam kaitannya dengan pemahaman sosiolinguistik mempunyai peranan yang penting di dalam dunia pendidikan. Ketika seorang pendidik memberikan pengajaran kepada anak-anak didiknya harus menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar. Apabila seorang pendidik mengunakan bahasa yang kurang baik, hal itu akan dicontoh oleh anak didiknya. Oleh karena itu, pengetahuan mengenai bagaimana menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar dalam konteks pembicaraan tertentu sangat penting dari sudut pandang linguistik. Fungsi pendidikan bahasa dapat dibagi manjadi empat subfungsi. (1) Fungsi integratif, yaitu memberi penekanan pada penggunaan bahasa sebagai alat yang membuat anak didik ingin dan sanggup menjadi anggota suatu masyarakat. (2) Fungsi instrumental, yaitu penggunaan bahasa untuk tujuan mendapat keuntungan material, memperoleh pekerjaan, meraih ilmu, dan sebagainya. (3) Fungsi kultural, yaitu penggunaan bahasa sebagai jalur mengenal dan menghargai suatu sistem nilai dan cara hidup atau kebudayaan suatu masyarakat. (4) Fungsi penalaran, yaitu memberikan lebih banyak tekanan pada penggunaan bahasa sebagai alat berpikir dan mengerti serta menciptakan kosep dengan pendek untuk bernalar. Fungsi penalaran bahasa Indonesia ini didukung pula oleh latihan-latihan bernalar dalam mata pelajaran lain. Berdasarkan uraian di atas, secara singkat dapat dikatakan bahwa arah tujuan pengajaran bahasa Indonesia adalah terampil menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar sesuai tujuan yang ingin dicapai. Secara umum, tujuan pengajaran bahasa Indonesia memiliki peran sentral dalam perkembangan intelektual, sosial dan emosional peserta didik dan merupakan penunjang keberhasilan dalam mempelajari semua bidang studi. Dengan pembelajaran bahasa memungkinkan untuk saling berkomunikasi dan berbagi pengalaman untuk meningkatkan kemampuan intelektual. Pembelajaran bahasa Indonesia di sekolah diharapkan membantu siswa mengenal dirinya, budayanya dan budaya orang lain, mengemukakan gagasan dan perasaan, berpartisipasi dalam masyarakat yang menggunakan bahasa tersebut dan menemukan serta menggunakan kemampuan analitis dan imajinatif yang ada dalam dirinya. Pendidikan bahasa Indonesia diarahkan untuk meningkatkan kemampuan peserta didik untuk berkomunikasi dalam bahasa Indonesia dengan baik dan benar, baik secara lisan maupun tulis, serta menumbuhkan apresiasi terhadap hasil karya kesastraan manusia Indonesia. Suatu program pengajaran bahasa yang menyeluruh dan terpadu tidak dapat dilepaskan dari pemberian input kebahasaan dan aspek-aspek kebudayaan yang hidup dan melekat pada masyarakat yang bersangkutan. Hal ini perlu dilakukan agar peserta didik dapat mengaplikasikan kecakapan linguistik dan keterampilan berbahasa dalam suatu konteks budaya sebagaimana dianut oleh suatu masyarakat. Dalam bidang pendidikan, seorang guru ketika menyampaikan materi pembelajaran harus memilih diksi yang tepat agar siswa mampu memahami materi yang disampaikan. Selain itu, dalam menyampaikan materi harus inovatif dengan memanfaatkan berbagai style bahasa agar tidak terkesan monoton dan pembelajranpun terkesan lebih hidup dan menyenangkan. Keuntungan lainnya adalah kita menjadi lebih bisa ngemong ketika berkomunikasi dengan berbagai peserta didik dari berbagai latar belakang yang berbeda. Ketika mengajari materi membaca pada kelas yang hiperaktif tentu berbeda gayanya dengan kelas yang pendiam. Pengenalan dasar-dasar sosiolinguistik terutama berkaitan dengan tindak tutur sebaiknya dikenalkan sedini mungkin kepada peserta didik. Pemahaman konteks yang baik dalam pengajaranpun akan berimbas pada siswa. Guru akan menjadi model yang paling aktual dan dekat dengan siswa. Tingkah laku, bahasa yang digunakan, gestures guru tentu sangat diperhatikan siswa dan sedikit banyak akan menjadi salah satu model dalam bersikap. Dengan kata lain, pemahaman ini secara tidak langsung akan membantu guru dalam mendidik siswa bertindak tutur dan pembentukan karakter peserta didik yang baik. Secara konkrit, peranan sosiolingistik terhadap pengajaran bahasa pada intinya menilai bahasa tidak sekadar alat untuk berkomunikasi atau menyampaikan gagasan, tetapi lebih kompleks dari sekedar hal itu. Sosiolingistik memberikan suatu point of view yang bahwa bahasa itu dinamis, tidak terpaku pada satu ukuran, tetapi harus melihat hal-hal lain yang berhubungan dengan sisi sosialnya. Jadi, dapat dikatakan bahwa sosiolinguistik menjembatani pemahaman dalam pengajaran bahasa di sekolah sehingga dapat diperoleh suatu pemahaman yang komprehensif tentang mata pelajaran untuk memperluas wawasan, meningkatkan pengetahuan berbahasa berikut kemampuan berbahasa intelektual, serta kematangan emosional dan sosial. Dengan memahami peran penting sosiolinguiatik berarti berkontribusi dalam peningkatan komunikasi sosial dalam interaksi antarsesama yang lebih santun dan berbudaya. Selain itu, harapannya siswa juga mampu menggunakan bahasa Indonesia untuk meningkatkan kompetensi dan skill-nya sehingga terbentuk manusia-manusia Indonesia yang memiliki kemampuan intelektual tinggi, santun, berbudaya, dan berwawasan Indonesia. C. Konsep Dan Kategori Pemilihan Bahasa Di negara-negara yang multilingual seperti Indonesia, Malaysia, Singapura, India, dan Filipina muncul masalah-masalah politis sehubungan dengan pemilihan bahasa untuk keperluan menjalankan administrasi kenegaraan dan pembinaan bangsa. Pemilihan bahasa mana yang harus diambil menjadi bahasa resmi kenegaraan dapat menimbulkan ketegangan politik dan ada kemungkinan berlanjut menjadi bentrok fisik. Indonesia tampaknya dapat menyelesaikan masalah pemilihan bahasa nasional, bahasa negara, dan bahasa resmi itu dengan baik, yakni dengan memilih bahasa Melayu, yang dalam sejarahnya telah menjadi lingua franca dan telah tersebar luas di seluruh nusantara, meskipun jumlah penutur aslinya jauh lebih sedikit daripada penutur bahasa daerah Sunda atau Jawa. Tak ada ketegangan politik dan bentrokan fisik karena semuanya menyadari bahwa bahasa secara sosiolinguistik bahasa Melayu mempunyai peranan yang lebih mungkin sebagai bahasa pergaulan dan bahasa resmi di Indonesia. Bahasa daerah lain, yang meskipun jumlah penuturnya lebih banyak, tetapi luas pemakaiannya terbatas di wilayah masing-masing. Dalam masyarakat multibahasa tersedia berbagai kode, baik berupa bahasa, dialek, variasi, dan gaya untuk digunakan dalam interaksi sosial. Untuk istilah terakhir, Kartomihardjo (1988) lebih suka mempergunakan istilah ragam sebagai padanan dari style. Dengan tersedianya kode-kode itu, anggoa masyarakat akan memilih kode yang tersedia sesuai dengan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Dalam interaksi sehari-hari, anggota masyarakat secara konstan mengubah variasi penggunaan bahasanya. Pemilihan bahasa menurut Fasold (1984: 180) tidak sesederhana yang kita bayangkan, yakni memilih sebuah bahasa secara keseluruhan (whole language) dalam suatu peristiwa komunikasi. Kita membayangkan seseorang yang menguasai dua bahasa atau lebih harus memilih bahasa mana yang akan ia gunakan. Misalnya, seseorang yang menguasai bahasa Jawa dan bahasa Indonesia harus memilih salah satu di antara kedua bahasa itu ketika berbicara kepada orang lain dalam peristiwa komunikasi. Dalam pemilihan bahasa terdapat tiga kategori pemilihan. Pertama, dengan memilih satu variasi dari bahasa yang sama (intra language variation). Apabila seorang penutur bahasa Jawa berbicara kepada orang lain dengan menggunakan bahasa Jawa krama, misalnya, maka ia telah melakukan pemilihan bahasa kategori pertama ini. Kedua, dengan melakukan alih kode (code switching), artinya menggunakan satu bahasa pada satu keperluan dan menggunakan bahasa yang lain pada keperluan lain dalam satu peristiwa komunikasi. Ketiga, dengan melakukan campur kode (code mixing) artinya menggunakan satu bahasa tertentu dengan bercampur serpihan-serpihan dari bahasa lain. Peristiwa alih kode dapat terjadi karena beberapa faktor. Reyfield (1970: 54-58) berdasarkan studinya terhadap masyarakat dwibahasa Yahudi-Inggris di Amerika mengemukakan dua faktor utama, yakni respon penutur terhadap situasi tutur dan faktor retoris. Faktor pertama menyangkut situasi seperti kehadiran orang ketiga dalam peristiwa tutur yang sedang berlangsung dan perubahan topik pembicaraan. Faktor kedua menyangkut penekanan kata-kata tertentu atau penghindaran terhadap kata-kata yang tabu. Menurut Blom dan Gumperz (1972: 408-409) teradapat dua macam alih kode, yaitu (1) alih kode situasional (situational switching) dan (2) alih kode metaforis. Alih kode yang pertama terjadi karena perubahan situasi dan alih kode yang kedua terjadi karena bahasa atau ragam bahasa yang dipakai merupakan metafor yang melambangkan identitas penutur. Campur kode merupakan peristiwa percampuran dua atau lebih bahasa atau ragam bahasa dalam suatu peristiwa tutur. Di dalam masyarakat tutur Jawa yang diteliti ini juga terdapat gejala ini. Gejala seperti ini cenderug mendekati pengertian yang dikemukakan oleh Haugen (1972: 79-80) sebagai bahasa campuran (mixture of language), yaitu pemakaian satu kata, ungkapan, atau frase. Di Filipina menurut Sibayan dan Segovia (1980: 113) disebut mix-mix atau halu-halu atau taglish untuk pemakaian bahasa campuran antara bahasa Tagalog dan bahasa Inggris. Di Indonesia, Nababan (1978: 7) menyebutnya dengan istilah bahasa gado-gado untuk pemakaian bahasa campuran antara bahasa Indonesia dan bahasa daerah. Pemilihan bahasa dalam interaksi sosial masyarakat dwibahasa/multibahasa disebabkan oleh berbagai faktor sosial dan budaya. Evin-Tripp (1972) mengidentifikaskan empat faktor utama sebagai penanda pemilihan bahasa penutur dalam interkasi sosial, yaitu (1) latar (waktu dan tempat) dan situasi; (2) partisipan dalam interkasi, (3) topik percakapan, dan (4) fungsi interaksi. Faktor pertama dapat berupa hal-hal seperti makan pagi di lingkungan keluarga, rapat di keluarahan, selamatan kelahiran di sebuah keluarga, kuliah, dan tawar-menawar barang di pasar. Faktor kedua mencakup hal-hal seperti usia, jenis kelamin, pekerjaan, status sosial ekonomi, dan perannnya dalam hubungan dengan mitra tutur. Hubungan dengan mitra tutur dapat berupa hubungan akrab dan berjarak. Faktor ketiga dapat berupa topik tentang pekerjaan, keberhasilan anak, peristiwa-peristiwa aktual, dan topik harga barang di pasar. Faktor keempat berupa fuingsi interaksi seperti penawaran, menyanmpaikan informasi, permohonan, kebiasaan rutin (salam, meminta maaf, atau mengucapkan terima kasih). Senada dengan Evin-Tripp, Groesjean (1982: 136) mengemukakan empat faktor yang mempengaruhi pemilihan bahasa dalam interaksi sosial, yaitu (1) partisipan, (2) situasi, (3) isi wacana, dan (4) fungsi interaksi. Faktor situasi mengacu pada (1) lokasi atau latar, (2) kehadiran pembicara monolingual, (3) tingkat formalitas, dan (4) tingkat keakraban. Faktor isi wacana mengacu pada (1) topik pembicaraan, dan (2) tipe kosakata. Fatkor fungsi iteraksi mencakupi aspek (1) menaikkan status, (2) penciptaan jarak sosial, (3) melarang masuk/ mengeluarkan seseorang dari pembicaraan, dan (4) memerintah atau meminta. Dari paparan berbagai faktor di atas, yang perlu diperhatikan adalah bahwa tidak terdapat faktor tunggal yang dapat mempengaruhi pemilihan bahasa sesorang. Yang menjadi pertanyaan adalah apakah faktor-faktor itu memiliki kedudukan yang sama pentingnya?. Kajian penelitian pemilihan bahasa yang pernah dilakukan menunjukkan bahwa suatu faktor menduduki kedudukan yang lebih penting daripada faktor lain. Gal (1982) menemukan bukti bahwa karakteristik penutur dan mitra tutur merupakan faktor yang paling menentukan dalam pemilihan bahasa dalam masyarakat tersebut, sedangkan faktor topik dan latar merupakan faktor yang kurang menentukan dalam pemilihan bahasa dibanding faktor partisipan. Berbeda dengan Gal, Rubin (1982) menemukan faktor penentu yang terpenting adalah lokasi tempat berlangsungya peristiwa tutur. Dalam penelitiannya tentang pemilihan bahasa Guarani dan Spanyol di Paraguay Rubin menyimpulkan bahwa lokasi interaksi yaitu (1) desa, (2) sekolah, dan (3) tempat umum sangat menentukan pemilihan bahasa masyarakat. Di desa pembicara akan memilih bahaa Guarani, di sekolah akan memilih bahasa Spanyol, dan di tempat umum memilih bahasa Spanyol. Kajian pemilihan bahasa menurut Fasold (1984: 183) dapat dilakukan berdasarkan tiga pendekatan, yaitu pendekatan sosiologi, pendekatan psikologi sosial, dan pendekatan antropologi. Ketiga pendekatan itu dapat dijelaskan sebagai berikut. Pendekatan sosiologi berkaitan dengan analisis ranah. Pendekatan ini pertama kali dikemukakan oleh Fishman (1964). Ranah menurut Fishman merupakan konstalasi faktor lokasi, topik, dan partisipan. Ranah didefinisikan pula sebagai konsepsi sosiokultural yang diabstraksikan dari topik komunikasi, hubungan peran antar-komunikator, dan tempat komunikasi di dalam keselarasan dengan pranata masyarakat dan merupakan bagian dari aktivitas masyarakat tutur (Fishman dalam Pride dan Holmes (eds) 1972). Di bagian lain Fishman (dalam Amon et al. (1987) mengemukakakan bahwa ranah adalah konsep teoretis yang menandai satu situasi interaksi yang didasarkan pada pengalaman yang sama dan terikat oleh tujuan dan kewajiban yang sama, misalnya keluarga, ketetanggaan, agama, dan pekerjaan. Sebagai contoh, apabila penutur berbicara di rumah dengan seorang anggota keluarga mengenai sebuah topik, penutur itu dikatakan berada pada ranah keluarga. Pemilihan ranah dalam penelitian ini mengacu pada pendapat Fishman. Berbeda dengan pendekatan sosiologi, pendekatan psikologi sosial lebih tertarik pada proses psikologis manusia daripada kategori dalam masyarakat luas. Pendekatan ini lebih berorientasi pada individu seperti motivasi individu daripada berorientasi pada masyarakat. Karya-karya penting kajian pemilihan bahasa dengan pendekatan psikologi sosial telah dilakukan oleh Herman (1968), Giles et al. (1973), serta Bourhish dan Taylor (1977). Herman (dalam Fasold 1984) mengemukakan teori situasi tumpang tindih yang mempengaruhi seseorang di dalam memilih bahasa. Situasi yang dimaksud adalah (1) kebutuhan personal (personal needs), (2) situasi latar belakang (background situation) dan (3) situasi sesaat (immediate situation). Dalam pemilihan bahasa salah satu situasi lebih dominan daripada situasi lain. Giles (1977: 321-324) mengajukan teori akomodasi (accommodation theory). Menurut Giles terdapat dua arah akomodasi penutur dalam peristiwa tutur. Pertama, akomodasi ke atas yang terjadi apabila penutur menyesuaikan pemilihan bahasanya dengan pemilihan bahasa mitra tutur. Kedua, akomodasi ke bawah, yang terjadi apabila penutur menginginkan agar mitra tuturnya menyesuaikan dengan pemilihan bahasanya. Pandangan Herman dan Giles tersebut mengimplikasikan adanya hubungan yang maknawi antara tingkat kondisi psikologis peserta tutur dan pemilihan bahasanya. Dengan demikian, untuk mengungkap permasalahan pemilihan bahasa perlu pula dilakukan kajian dari segi kondisi psikologis orang per orang dalam masyarakat tutur ketika mereka melakukan pemilihan bahasa atau ragam bahasa. Seperti halnya pendekatan psikologi sosial, pendekatan antropologi tertarik dengan bagaimana seorang penutur berhubungan dengan struktur masyarakat. Perbedaannya adalah bahwa apabila psikologi sosial memandang dari sudut kebutuhan psikologis penutur, pendekatan antropologi memandangnya dari bagaimana seseorang memilih bahasa untuk mengungkapkan nilai kebudayaan (Fasold 1984: 193). Dari segi metodologi kajian terdapat perbedaan antara pendekatan sosiologi, psikologi sosial, dan antropologi. Dua pendekatan pertama yang disebut lebih mengarahkan kajiannya pada data kuesioner dan observasi atas subjek yang ditelitinya. Sementara itu, pendekatan yang ketiga menempatkan nilai yang tinggi pada perilaku takterkontrol yang alamiah. Hal ini membimbing peneliti untuk menggunakan metode penelitian yang jarang digunakan oleh sosiologi dan psikologi sosial, yakni observasi terlibat (participant observation). Sebagai contoh, penelitian yang dilakukan oleh Susan Gal (yang mempublikasikan hasilnya tahun 1979) di Oberwart, Australia Timur menghabiskan waktu satu tahun untuk tinggal di sebuah keluarga setempat. Dengan menggunakan metode observasi terlibat ini antropolog dapat memberikan perspektif penjelasan atas pemilihan bahasa berdasarkan persepsinya sebagai penutur sebuah kelompok atau lebih yang dimasukinya selama mengadakan penelitian. Implikasi dari metode ini adalah bahwa pengamat adalah peneliti yang menjadi anggota kelompok yang ditelitinya (Wiseman dan Aron 1970: 49). Kesesuaian pendekatan antropologi dengan penelitian ini terletak pada faktor kultural yang mempengaruhi pemilihan bahasa masyarakat tutur. Pada umumnya sosiolinguistik mengkaji masyarakat dwibahasa atau multibahasa (Appel dan Muysken 1987; Edwards 1994). Kajian pemilihan bahasa juga bertemali dengan situasi semacam itu sebab untuk menentukan pemilihan bahasa atau ragam bahasa tertentu pastilah ada bahasa atau ragam lain yang digunakan dalam komunikasi sehari-hari sebagai pendamping sekaligus pembanding. Penelitian pemilihan bahasa dalam masyarakat tutur Jawa di Banyumas ini pun tidak terlepas dari permasalahan kedwibahasaan. Pengertian kedwibahasaan selalu berkembang mulai dari pengertian yang ketat sampai kepada pengertian yang longgar. Blommfield dalam bukunya Language (1933) memberikan batasan kedwibahasaan sebagai gejala penguasaan bahasa seperti penutur jati (native speaker). Batasan ini mengimplikasikan pengertian bahwa seorang dwibahasawan adalah orang yang menguasai dua bahasa dengan sama baiknya. Mackey (dalam Fishman ed 1968: 555) berpendapat bahwa kedwibahasaan bukanlah gejala bahasa sebagai sistem melainkan sebagai gejala penuturan, bukan ciri kode melainkan ciri pengungkapan; bukan bersifat sosial melainkan individual; dan juga merupakan karakteristik pemakaian bahasa. Kedwibahasaan dirumuskan sebagai praktik pemakaian dua bahasa secara bergantian oleh seorang penutur. Kondisi dan situasi yang dihadapi dwibahasawan turut menentukan pergantian bahasa-bahasa yang dipakai. Pandangan Mackey didukung oleh Weinreich (1970). Permasalahan kebahasaan yang dapat muncul berkaitan dengan batasan tersebut adalah bagaimana kalau kemampuan seseorang dalam bahasa kedua hanya sebatas mengerti dan dapat memahami tuturan bahasa kedua tetapi tidak mampu bertutur sehingga dalam praktik pemakaian bahasa yang melibatkan dirinya, ia tidak dapat memakainya secara bertanti-ganti. Situasi yang demikan tentu di luar batasan kedwibahasaan yang ketat sebagaimana diungkapkan oleh Bloomfield, Mackey, dan Weinreich. Padahal sosiolinguistik berkepentingan dalam hal tersebut. Macnamara (1967) mengemukakan rumusan yang lebih longgar. Menurutnya kedwibahasaan itu mengacu kepada pemilikan kemampuan sekurang-kurangnya bahasa pertama dan bahasa kedua, meskipun kemampuan dalam bahasa kedua hanya sampai batas minimal. Rumusan ini diikuti oleh Haugen (1972) mengenai dua bahasa. Ini berarti bahwa seorang dwibahasawan tidak perlu menguasai bahasa kedua secara aktif produktif sebagaimana dituntut oleh Bloomfield, melainkan cukup apabila ia memiliki kemampuan reseptif dalam bahasa kedua. Haugen (1972) merumuskan kedwibahasaan dengan rumusan yang lebih longgar, yaitu tahu dua bahasa. Seorang dwibahasawan tidak harus menguasai secara aktif dua bahasa, penguasaan bahasa kedua secara pasif pun dipandang cukup menjadikan seseorang disebut dwibahasawan. Mengerti dua bahasa dirumuskan sebagai menguasai dua sistem kode yang berbeda dari bahasa yang berbeda atau bahasa yang sama. Dengan membading-bandingkan pengertian kedwibahasaan dari para ahli di atas, pengertian Haugen dijadikan kerangka konsep dalam penelitian ini karena gambaran kedwibahasaan anggota masyarakat memperlihatkan berbagai tingkat penguasaan bahasa atau ragam bahasa yang tampak di dalam pemakaiannya. Fishman (1972: 92) menganjurkan bahwa dalam mengkaji masyarakat dwibahasa atau multibahasa hendaknya diperhatikan kaitannya dengan ada tidaknya diglosia. Istilah diglosia diperkenalkan pertama kali oleh Ferguson (1959) untuk melukiskan situasi kebahasaan yang terdapat di Yunani, negara-negara Arab, Swis, dan Haiti. Di setiap negara itu terdapat dua ragam bahasa yang berbeda, masing-masing adalah Katharevusa dan Dhimtiki di Yunani, Al-fusha dan Ad-dirij di negara-negara Arab, Schriftsprache dan Schweizerdeutsch di Swis, serta bahasa Prancis dan kreol di Haiti. Ragam yang disebut pertama adalah ragam bahasa tinggi (T) yang dipakai dalam situasi resmi, sedangkan yang disebut kedua adalah ragam bahasa Rendah (R) yang dipakai dalam situasi sehari-hari tak resmi. Ragam bahasa yang dipakai di dalam situasi resmi (seperti perkuliahan, sidang parlemen, dan khotbah di tempat-tempat ibadah) dianggap sebagai bahasa yang bergengsi tinggi oleh masyarakat bahasa yang bersangkutan. Mengingat latar belakang sejarah ragam ini yang sudah sejak lama mengenal ragam tulis dan menikmati gengsi yang tinggi itu, ragam inilah yang dipakai sebagai bahasa sastra di kalangan para pemakainya. Ragam ini mengalami proses pembakuan dan harus dipelajari di sekolah, sedangkan tidak setiap orang mempunyai kesempatan untuk mempelajarinya. Sebaliknya, ragam bahasa yang dipakai di dalam situasi tidak resmi adalah ragam bahasa yang dipakai sehari-hari di rumah. Ragam ini tidak mengenal ragam tulis dan tidak menjadi sasaran pembakuan bahasa. Penguasaan atas ragam ini merupakan kebanggaan bagi pemakainya. Oleh karena itu, ragam R tidak tercantum sebagai mata pelajaran di sekolah; masyarakat pemakainya tidak perlu mempelajari ragam bahasa ini di sekolah. Oleh para pemakainya ragam ini dianggap berkedudukan rendah dan tidak bergengsi. Penguasaan atas ragam-ragam itu dapat dipakai sebagai penentu terpelajar atau tidaknya seseorang. Oleh karena itu, orang yang hanya menguasai ragam rendah saja sering merasa malu karena hal itu menunjukkan tingkat pendidikannya yang rendah. III. PENUTUP A. Kesimpulan Sosiolinguistik merupakan ilmu antardisiplin antara sosiologi dan linguistik, dua bidang ilmu empiris yang mempunyai kaitan sangat erat. Apa sosiologi dan linguistik itu? Banyak batasan telah dibuat oleh para sosiolog mengenai sosiologi, tetapi intinya bahwa sosiologi adalah kajian yang objektif dan ilmiah mengenai manusia di dalam masyarakat, mengenai lembaga-lembaga, dan proses sosial yang ada di dalam masyarakat. Sosiologi berusaha mengetahui bagaimana masyarakat itu terjadi, berlangsung, dan tetap ada. Dengan mempelajari lembaga-lembaga sosial dan segala masalah sosial dalam satu masyarakat, akan diketahui cara-cara manusia menyesuaikan diri dengan lingkungannya, bagaimana mereka bersosialisasi, dan menempatkan diri dalam tempatnya masing-masing di dalam masyarakat. Dari berbagai apa yang telah dijelaskan di atas dapat disimpulkan bahwa masyarakat Indonesia adalah masyarakat multibahasa dengan derajat bilingualitas yang berbeda untuk masing-masing bahasa yang dikuasai. Kondisi multi bahasa ini juga akan tampak dalam pendidikan sekolah. Siswa-siswa Indonesia datang dari masyarakat multibahasa, setiap siswa menjadi model bilingual disekolahnya masing-masing. Keinginan berbahasa Indonesia sebagai bahasa pergaulan dikalangan siswa sebenarnya dapat dilakukan selama ada motivasi. Motivasi dapat timbul dari dalam individu dan dapat pula timbul akibat pengaruh, dari dalam dan dari luar dirinya. B. Saran-saran Bagi seorang guru bahasa hendaknya menguasai dasar-dasar teori linguistik, secara khusus yang berkaitan dengan kajian sosiolinguistik. Hal tersebut dibutuhkan karena masyarakat kita hidup dalam keheterogenan bahasa atau dengan kata lain masyarakat yang multilingual. Anak didik yang hidup dalam masyarakat seperti ini tentunya juga akan menguasai bahasa yang beragam pula. Oleh karena itu, seorang guru bahasa akan mengalami kesulitan dalam pengajaran bahasa bilamana guru yang bersangkutan tidak memiliki kemampuan dan penguasaan tentang teori-teori linguistik. Ini berarti seorang guru bahasa selayaknya memiliki keahlian khusus untuk mendukung profesinya. DAFTAR PUSTAKA Alwasilah, A. Chaedar. 1986. Sosiologi bahasa. Bandung. Angkasa. Campbell, Lyle. 1998. Historical Linguistics: An Introduction. Edinburgh: Edinburgh University Press. Chaer, Abdul. 2007. Leksikologi dan Leksikografi Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta Chaer, A dan Leoni A. 2004.Sosiolinguistik: Perkenalan Awal. Jakarta: Rineka Cipta. Chaer, Abdul dan Leoni Agustina. 1995. Sosiolinguistik: Suatu Perkenalan Awal. Jakarta: Rineka Cipta Fasold, Ralph. 1999. The Sociolinguistics of Language. Oxford: Blackwell Publisher. Fishman, Joshua A.1972. The Sosiology of Language. Massachussetts: Newbury House Publisher. Hudson, R.A.1980. Sosiolinguistics. London: Cambridge University Press Janet Holmes. 1992. An introduction to sosiolinguistics. England: Longman Group UK. Sumarsono. 2011. Sosiolinguistik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. I Dewa Putu Wijana. (2006). Sosiolinguistik : kajian teori dan analisis. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Kridalaksana, Harimurti. 1993. Kamus linguistik edisi ke tiga. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Keraf, Gorys 2007. Diksi dan Gaya Bahasa. Cetakan ke-17. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama Ohoiwutun, Paul. 2007. Sosiolinguistik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Majelis Sinode GKE Mahsun, 2004. Metode dan Teknik Penelitian Bahasa. Jakarta: Raja Grafindo Persada Poedjosoedarmo, Soepomo, 2003. Filsafat Bahasa. Surakarta: UMS Press Nababan, P.W.J. 1984. Sosioliguistik: Suatu Pengantar. Jakarta: PT. Gramedia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar